WELCOME TO MY BLOG
OLDY DUMANAUW 14111101203 FKM UNSRAT - K3 05
Selasa, 22 November 2016
30" Sekilas Tentang Global Harmonize System (GHS)
Sekilas Tentang Global Harmonize System (GHS)
Global Harmonize System atau disingkat
GHS cukup ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Soalnya menteri
perindustrian telah mengeluarkan keputusan no 87/M-IND/PER/9/2009
tentang sistem harmonisasi global klasifikasi dan label pada bahan kimia.
Menurut peraturan manteri ini semua bahan kima yang dipasarkan di
Indonesia wajib mengikuti klasifikasi dan label yang ditetapkan oleh
sistem GHS. Maksudnya adalah semua bahan kimia harus memiliki Material Safety Data Sheet (MSDS) atau dalam peraturan ini disebut Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB)
yang mengacu pada sistem pengklasifikasian yang ditetapkan oleh sistem
GHS. Demikian pula halnya dengan label bahan kimia harus mengacu pada
sistem GHS yang sama.
Apa itu GHS?
GHS adalah sistem pengklasifikasian keselamatan
bahan kimia yang dikeluarkan oleh United Nation. Sampai saat ini UN
telah melakukan 3 kali revisi terhadap sistem GHS yang dikeluarkan,
sistem GHS yang dikeluarkan dikenal dengan Purple Book.
Kenapa perlu GHS?
UN mecoba untuk
menyamakan klasifikasi bahan kimia diseluruh dunia. Karena selama ini
masing-masing negara memiliki klasifikasi yang berbeda-beda. Sebagai
contoh, suatu bahan kimia dikategorikan bersifat high toxic disuatu
negara akan tetapi dinegara lain bisa jadi bersifat low toxic, atau
suatu produk dikategorikan bersifat flammable disuatu negara dan tidak
bersifat flammable dinegara lain. Dampaknya adalah, negara-negara yang
mengklasifikasikan produk tersebut sebagai high toxic atau flammable
akan membuat berbagai peraturan untuk mengontrol produk tersebut,
sementara negara yang mengkategorikan produk tersebut low toxic / tidak
flammable akan membiarkan penjualan secara bebas tanpa kontrol. Hal ini
juga akan menyulitkan negara pengimpor atau pengekspor bahan kimia
karena berbedanya klasifikasi bahan kimia antara negara pengekspor dan
pengimpor. Perbedaan ini juga berdampak pada MSDS
dan sistem pelabelan bahan kimia tersebut yang nantinya akan
menyulitkan negara pengimpor karena mereka harus merevisi MSDS dan
melakukan pelabelan ulang sesuai dengan klasifikasi yang mereka miliki.
Berdasarkan hal ini UN menguarkan sistem GHS untuk memudahkan dunia industri dalam melakukan perdagangan bahan kimia dan juga untuk melindungi lingkungan dan manusia dari dampak penggunaan bahan kimia. Didalam purple book disebut bahwa tujuan dari GHS adalah sebagai berikut:
- Untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dengan menyediakan sistem yang lebih komprehensif secara internasional untuk mengkomunikasikan bahaya bahan kimia.
- Menyediakan framwork untuk negara-negara yang belum memiliki sistem klasifikasi dan label bahan kimia.
- Mengurangi kebutuhan akan pengujian dan evaluasi bahan kimia.
- Memfasilitasi perdagangan internasional bahan kimia dimana bahaya bahan kimia tersebut sudah dikaji dan diidentifikasi dengan basis internasional.
Apa saja ruang lingkup GHS?
Didalam purple book dinyatakan bahwa ada dua elemen ruang lingkup GHS, yaitu:
- Kriteria yang harmonis untuk klasifikasi bahan kimia tunggal dan campuran sesuai dengan bahaya kesehatan, lingkungan dan fisik bahan kimia tersebut.
- Elemen komunikasi bahaya yang harmonis, termasuk persyaratan untuk label dan safety data sheet.
Ada beberapa jenis produk kimia yang
tidak termasuk dalam ruang lingkup ini, yaitu farmasi, additif untuk
bahan makanan, kosmetik, dan residu pestisida didalam bahan makanan.
Bagaimana mengaplikasikan GHS?
Untuk mengaplikasikan GHS di Indonesia
tentu saja mengacu pada peraturan menteri perindustrian nomor
87/M-IND/PER/9/2009. Disana sudah ditetapkan format LDKB atau MSDS dan
persyaratan untuk label. Namun untuk klasifikasi bahan kimia mengacu
pada purple book revisi 2, hal ini disebutkan dalam keputusan dirjen
industri Agro dan Kimia kementerian perindustrian no 21/IAK/PER/4/2010
tentang petunjuk teknis penerapan sistem harmonisasi global klasifikasi
dan pelabelan bahan kimia. Namun dalam petunjuk ini tidak disebutkan
tentang teknis building blok yang harus diadopsi, ini berarti Indonesia
mengadopsi 100% building blok yang ditetapkan pada purple book revisi 2.
Berdasarkan peraturan menteri perindustrian tersebut diatas, sistem GHS
untuk kimia tunggal sudah mulai berlaku sejak bulan Maret 2010
sementara untuk bahan kimia campuran masih bersifat sukarela dalam
penerapannya, dan mulai berlaku efektif untuk bahan kimia campuran pada
awal tahun 2014.
Untuk mengklasifikasikan bahan kimia sesuai dengan klasifikasi GHS diperlukan training
dan keahlian khusus. Meskipun didalam purple book sudah dijelaskan
secara rinci bagaimana cara melakukan klasifikasi setiap bahaya bahan
kimia tersebut, namun diperlukan keahlian dan pengetahuan yang baik
tentang bahan kimia dan bahayanya dalam melakukan klasifikasi tersebut
agar tidak terjadi kekeliruan. Menurut peraturan menteri perindustrian
tentang GHS, semua bahan kimia harus diklasifikasikan berdasarkan
kriteria bahaya GHS yang terdiri dari bahaya fisik, bahaya terhadap
kesehatan dan bahaya terhadap lingkungan akuatik. Bahaya fisik misalnya
eksplosive, gas mudah menyala, cairan pengoksidasi, korosif pada logam,
dan lain-lain. Bahaya terhadap kesehatan misalnya toksisitas akut,
korosi/iritasi kulit, karsinogenisitas, dan lain-lain.
Dan setiap bahan kimia tersebut juga
harus diberi label sesuai dengan GHS yang ditetapkan, dimana label
tersebut harus mengandung unsur penanda produk, piktogram bahaya, kata
sinyal, pernyataan bahaya, identifikasi produsen dan pernyataan
kehati-hatian. Label tersebut juga harus mudah terbaca, jelas terlihat,
tidak mudah rusak, tidak mudah lepas dari kemasannya dan tidak mudah
luntur karena pengaruh sinar, udara
atau lainnya. Piktogram yang digunakan juga harus sesuai dengan
peraturan GHS yang terdapat pada lampiran I dari peraturan menteri
tentang GHS.
Bahan kimia juga harus dilengkapi dengan
MSDS (LDKB), didalam peraturan menteri tentang GHS bahwa MSDS dan Label
wajib berbahasa Indonesia. Informasi yang terkandung didalam GHS adalah
informasi bahaya fisik, bahaya terhadap kesehatan dan bahaya terhadap
lingkungan akuatik yang sudah diklasifikasikan sesuai dengan kriteria
bahaya GHS, dan informasi lainnya sesuai dengan format yang sudah
ditetapkan. Format MSDS/LDKB sesuai dengan peraturan menteri tentang GHS
(lampiran II) terdiri dari 16 section, yaitu:
- Identifikasi senyawa (Tunggal atau Campuran)
- Identifikasi bahaya
- Komposisi/Informasi tentang bahanpenyusun senyawa tunggal
- Tindakan pertolongan pertama
- Tindakan pemadaman kebakaran
- Tindakan penanggulangan jika terjadi kebocoran
- Penanganan dan penyimpanan
- Kontrol paparan/perlindungan diri
- Sifat fisika dan kimia
- Stabilitas dan Reaktifitas
- Informasi Toksikologi
- Informasi Ekologi
- Pertimbangan pembuangan / pemusnahan
- Informasi transportasi
- Informasi yang berkaitan dengan regulasi
- Informasi lain termasuk informasi yang diperlukan dalam pembuatan dan revisi SDS.
Sebaiknya mulai dari sekarang anda
menyesuaikan MSDS/LDKB bahan kimia yang anda produksi sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan menteri perindustrian tersebut
diatas. Jika anda membeli bahan kimia dari pemasok bahan kimia, maka
sebaiknya anda meminta MSDS/LDKB yang sudah mengikuti GHS.
29" Toksikologi Bahan Kimia
Toksikologi Bahan Kimia
Kita pasti sudah sering mendengar kata toksik atau dalam bahasa yang umum adalah beracun, sementara toksikologi adalah studi mengenai efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Klasifikasi bahan toksik dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari minat dan tujuan pengelompokkannya. Sebagai contoh pengklasifikasian dapat dilakukan berdasarkan:- Organ targetnya : Hati, Ginjal, Sistem hermatopotik, dll.
- Penggunaanya: Pestisida, Pelarut, Aditif, dll.
- Sumbernya: Toksik tumbuhan dan binatang.
- Efeknya: Kanker, Mutasi, Kerusakkan hati, dll.
- Fisiknya: Gas, Debu, Cair, Aerosol.
- Sifatnya: Mudah meledak, Korosif, Iritasi, dll
- Kandungan kimianya: Amina aromatik, Hydrokarbon, Halogen, dll.
Efek toksik dalam sistem biologis tidak akan terjadi jika bahan kimia tersebut tidak mencapai tempat yang sesuai didalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk
menghasilkan manifestasi toksik. Terjadi tidaknya respons toksik
tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi
paparan, dan kerentanan sistem biologis dari subjek. Oleh karena itu
untuk mengetahui karakteristik lengkap tentang bahaya
potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu, maka perlu
diketahui tidak hanya efek-efek dan dosis yang diperlukan untuk
mengahsilkan efek tersebut, tetapi juga informasi mengenai sifat bahan
kimianya sendiri, pemaparannya, dan subjeknya. Faktor utama yang
mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan
terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk (route of entry)
kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.
Ada 3 jalur utama bahan toksik masuk
kedalam tubuh manusia yaitu melalui saluran pencernaan atau makanan
(gastro intestinal), jalur pernapasan (inhalasi) dan melalui kulit
(topikal). Bahan toksik masuk kedalam saluran pencernaan umunya melalui
makanan atau minuman dan kemudian diserap didalam lambung. Bahan toksik
yang masuk melalui saluran pernapasan menuju paru-paru akan diserap oleh
alveoli paru-paru. Pada umumnya kulit lebih impermeabel dan karenanya
merupakan barier (penghalang) yang baik bagi bahan toksik masuk kedalam
tubuh. Namun beberapa bahan kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah
yang cukup banyak sehingga menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia
dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat.
Setelah bahan toksik tersebut diserap dan masuk kedalam darah, kemudian
didistribusikan keseluruh tubuh dengan cepat. Namun demikian sebagian
bahan toksik dapat dikeluarkan oleh mekanisme tubuh secara alami melalui
urine, empedu dan paru-paru. Dan sebagian lagi bisa mengalam
biotransformasi dan bioaktivasi. Yang lebih berbahaya adalah jika terjadi proses bioaktivasi dimana bahan toksik diubah menjadi bahan yang lebih toksik oleh metabolisme tubuh.
Karakteristik pemaparan dan spectrum
efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal sebagai
hubungan dosis-respons. Respons timbul karena adanya bahan kimia yang
diberikan dan respons berhubungan dengan dosis. Dalam penggunaan
dosis-respon harus ada metode kuantitatif untuk mengukur secara tepat
toksisitas dari suatu bahan kimia. Dosis-respons dinyatakan dengan suatu
indek Lethal Dosis (LD50) dan Lethal Concentration (LC50). LD50 adalah
dosis tunggal dari suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat
menyebabkan kematian sebanyak 50% dari binatang percobaan selama 14 hari
paparan. Sebagai contoh LD50 dari Acrylamid adalah 124 ppm, artinya
pada konsentrasi 124 ppm 50% dari binatang percobaan mati selama masa
percobaan 14 hari. Secara lebih spesifik OSHA mendefiniskan LD50 dan LC50 sebagai berikut:
- LD50 means lethal dose expressed in mg/kg body mass, which is likely to cause death within 14 days for 50% of the tested animals,administrated by mouth or bare skin.
- LC50 means the lethal concentration expressed in mg/L or mL/m3, which is likely to cause death within 14 days for 50% of the tested animals, administrated by inhalation of dusts or mists or vapour.
Efek dari keracunan bisa bersifat akut
dan kronik. Efek akut adalah efek yang segera muncul pada saat terpapar
atau terkena bahan toksit, dan akan hilang setelah paparan bahan kimia
beracun tersebut dihilangkan. Contoh bahan kimia yang dapat menimbulkan
efek akut adalah Ammonia, apabila terhirup uap ammonia maka sekita kita
akan merasa mual dan pusing, akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat
merusak paru-paru. Bahan kimia yang bersifat kronik misalnya adalah
asbestos, paparan terhadap debu asbes tidak segera menyebabkan kerusakan
pada paru-paru, akan tetapi apabila terpapar dalam jangka waktu yang
lama dapat menyebabkan kanker paru-paru. Karbon monoksida (CO) dapat
mengakibatkan efek akut dan kronis, apabila terhirup gas CO maka kepala
akan pusing dan terasa mual, namun dalam jangka panjang dapat
menyebabkan kerusakkan pada paru-paru. Efek toksik juga bisa bersifat
reversible atau ireversibel. Efek reversible artinya efek yang dapat
hilang dengan sendirinya. Efek irreversible adalah efek yang akan
menetap atau bertambah. Efek irreversible diantaranya adalah karsinoma,
mutasi, kerusakan syaraf dan sirosis hati. Efek reversible terjadi
apabila terpapar dengan konsentrasi yang rendah atau jangka waktu tidak
lama, efek ireversibel bisa terjadi apabila terpapar dengan konsentrasi
yang tinggi dan waktu yang lama.
Untuk menghindari agar tidak keracunan
adalah dengan tidak menggunakan bahan beracun atau tidak kontak dengan
bahan beracun. Namun dalam dunia industri
tentu saja hal itu sulit dilakukan, karena kita memerlukan bahan-bahan
kimia didalam proses produksi sehari-hari, artinya hampir setiap hari
kita bergelut dengan bahan kimia yang sebagian besar beracun. Dalam
situasi seperti ini, dimana kita tidak bisa menghindari menggunakan
bahan-bahan kimia beracun, maka yang harus kita lakukan adalah:
- Mengenal bahan kimia yang kita gunakan dengan baik. Kenalilah sifat-sifat kimia terutama sifat toksik dari bahan yang kita gunakan sehingga kita tahu efek yang dapat ditimbulkannya.
- Mengetahui cara penanganan dan penggunaanya secara baik untuk menghindari paparan yang tidak perlu.
- Usahakan seminimal mungkin untuk kontak atau terpapar terhadap bahan kimia beracun tersebut. Hati-hati jika pada bahan kimia cair yang mudah menguap, jangan berasumsi bahwa semua cairan tidak mengguap, salah satu indikator bahwa bahan kimia cair menguap adalah adanya bau yang ditimbulkan, namun tidak semua uap kimia berbau.
- Gunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat dalam menangani bahan kimia beracun. Jika bekerja dengan bahan kimia cair maka gunakan safety glove yang sesuai dan safety glases jika diperlukan. Jika bekerja dengan bahan kimia berupa gas atau uap maka gunakan respirator yang dapat melindungi dari uap atau gas kimia.
- Kenali cara penanganan jika terjadi tumpahan atau kebocoran bahan kimia beracun tersebut.
- Pelajari tindakan pertolongan pertama (first aids) jika terjadi kecelakaan keracunan pada saat bekerja.
- Konsultasikan kesehatan anda dengan Dokter jika ada gejala-gejala keracunan yang anda rasakan.
Anda bisa mendapatkan semua informasi tersebut didalam Material Safety Data Sheet (MSDS) dari bahan kimia yang anda gunakan. Oleh sebab itu pastikan bahwa semua bahan kimia yang anda gunakan memiliki MSDS dan dikomunikasikan kepada semua pekerja yang menggunakan bahan kimia tersebut.
28" Pemahaman Tentang Bahaya (HAZARD)
Pemahaman Tentang Bahaya (HAZARD)
Bahaya (hazard)
adalah faktor intrinsik yang melekat pada sesuatu (bisa pada barang
ataupun suatu kegiatan maupun kondisi), misalnya pestisida yang ada pada
sayuran ataupun panas yang keluar dari mesin pesawat. Bahaya ini akan
tetap menjadi bahaya tanpa menimbulkan dampak/ konsekuensi ataupun berkembang menjadi accident bila tidak ada kontak (exposure) dengan manusia. Sebagai contoh, panas yang keluar dari mesin pesawat tidak akan menimbulkan kecelakaan jika kita tidak menyentuhnya. Proses kontak antara bahaya dengan manusia ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu:
- Manusia yang menghampiri bahaya.
- Bahaya yang menghampiri manusia melalui proses alamiah.
- Manusia dan bahaya saling menghampiri.
Jenis bahaya
Berdasarkan jenisnya, bahaya dapat diklasifikasikan atas:
1. Primary Hazards
- Bahaya fisik, misalnya yang berkaitan dengan peralatan seperti bahaya listrik.
- Bahaya kimia, misalnya yang berkaitan dengan material/ bahan seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dan lain-lain.
- Bahaya biologi, misalnya yang berkaitan dengan mahluk hidup yang berada di lingkungan kerja seperti virus dan bakteri.
- Bahaya psikososial, misalnya yang berkaitan aspek sosial psikologis maupun organisasi pada pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat memberi dampak pada aspek fisik dan mental pekrja. Seperti misalnya pola kerja yang tak beraturan, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi kapasitas mental, tugas yang tidak berfariasi, suasana lingkungan kerja yang terpisah atau terlalu ramai dll sebagainya
Secara lebih rinci faktor yang berkaitan dengan aspek sosial psikologis tampak pada tabel berikut:
Kategori
|
Kondisi yang menggambarkan bahaya
|
Context to work | |
Fungsi dan budaya organisasi
|
Komunikasi yang buruk, rendahnya dukungan untuk
pemecahan masalah dan pengembangan pribadi, kurangnya pemahaman terhadap
tujuan organisasi
|
Peran dalam organisasi
|
Ambiguitas dan konflik peran, tanggung jawab terhadap orang lain
|
Pengembangan karir
|
Ketidakpastian dan stagnasi karir, underpromotion atau overpromotion, insentif yang buruk, rendahnya nilai sosial terhadap pekerjaan
|
Latitude keputusan/ pengendalian
|
Partisipasi yang rendah pada pembuatan keputusan,
kurangnya pengendalian terhadap pekerjaan (pengendalian, khususnya pada
bentuk partisipasi, termasuk juga konteks dan wider organizational issue)
|
Hubungan interpersonal pada pekerjaan
|
Isolasi sosial atau fisik, buruknya hubungan dengan atasan, konflik interpersonal, kurangnya dukungan sosial
|
Home-work interface
|
Konflik demand of work and home, dukungan rendah dari rumah, masalah dualisme karir
|
Lingkungan kerja dan perlengkapan kerja
|
Masalah yang berkaitan dengan reliabilitas,
ketersediaan, kesesuaian, serta pemeliharaan atau perbaikan terhadap
peralatan dan fasilitas
|
Desain tugas
|
Kurangnya keragaman dari siklus singkat kerja, fragmented atau meaningless work, underuse of skills, tingginya ketidakpastian
|
Beban kerja/ workpace
|
Beban kerja lebih atau kurang, kurangnya pengendalian terhadap over pacing, tingginya tingkat tekanan waktu
|
Jadwal kerja
|
Waktu gilir kerja, jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel, waktu kerja yang tidak dapat diprediksi, waktu yang panjang atau unsocial
|
Klasifikasi bahaya primer (primary hazards) menurut jenisnya tersebut membawa juga pengertian mengenai sumber bahaya yang dapat kita bagi atas:
- Manusia dengan segala karakteristiknya baik secara badani (fisik tubuh), mental, pengetahuan, keterampilan dan yang lainnya.
- Peralatan yang disainnya tidak tepat, kualiasnya mudah rusak ataupun kurang terawat, dan lain-lain.
- Material/ bahan yang secara kimiawi misalnya mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi, dan lain-lain.
- Lingkungan tempat berlangsungnya pekerjaan yang kurang memadai, seperti sempit, kotor, licin, dan lain-lain.
2. Secondary hazard (bahaya sekunder)
Secondary hazard
atau disebut juga bahaya sekunder adalah bahaya yang muncul sebagai
akibat terjadinya interaksi antara komponen-komponen pekerjaan (yang
juga bisa berfungsi sebagai sumber primary hazard). Interaksi ini sering kita sebut sebagai pekerjaan/ sistem kerja.
27" Mengenal Debu (Dust) dan Pengendaliannya (Dust Control)
Mengenal Debu (Dust) dan Pengendaliannya (Dust Control)
Debu atau Dust adalah partikel padat yang berukuran sangat kecil yang dibawa oleh udara.
Partikel-partikel kecil ini dibentuk oleh suatu proses disintegrasi
atau fraktur seperti penggilingan, penghancuran atau pemukulan terhadap
benda padat. Mine Safety
and Health Administration (MSHA) mendefinisikan debu sebagai padatan
halus yang tersuspensi diudara (airbone) yang tidak mengalami perubahan secara kimia ataupun fisika dari bahan padatan aslinya.
Ukuran partikel debu yang dihasilkan
dari suatu proses sangatlah bervariasi, mulai dari yang tidak bisa
terlihat dengan mata telanjang sampai pada ukuran yang terlihat dengan
mata telanjang. Ukuran partikel yang besar akan tertinggal pada
permukaan benda atau turun kebawah (menetap sementara diudara) dan
ukuran partikel yang kecil akan terbang atau tersuspensi diudara. Debu
umumnya dalam ukuran micron, sebagai pembanding ukuran rambut adalah
50-70 micron.
Jenis industri
yang menghasilkan debu dan banyak mencemari lingkungan atau udara
adalah seperti konstruksi, agrikultur dan pertambangan. Didalam proses
manufaktur, debu juga dapat dihasilkan dari berbagai aktifitas seperti
crushing, grinding, abrasion dan lain-lain. Banyaknya debu yang
dihasilkan oleh aktifitas industri sangat tergantung kepada jenis proses
dan bahan yang digunakan atau diproses.
Debu fibrogenic seperti Kristal silica (free crystalline silica – FCS) atau asbestos adalah jenis debu yang sangat beracun dan jika masuk kedalam paru-paru dapat merusak paru-paru dan mempengaruhi fungsi atau kerja paru-paru.
Nuisance dust atau inert dust dapat
didefinisikan sebagai debu yang mengandung kurang dari 1% quartz
(kuarsa). Karena kandungan silica yang rendah, nuisance dust hanya
sedikit mempengaruhi kesehatan
paru-paru dan dapat disembuhkan jika terhirup. Akan tetapi jika
konsentrasi nuisance dust sangat tinggi diudara area kerja maka dapat
mengurangi penglihatan dan bisa menyebabkan masuk kedalam mata, telingga
dan tenggorokan sehingga timbul rasa tidak nyaman dan juga bisa
menyebabkan luka pada kulit atau mucous membrane baik karena aksi
kimiawi atau mekanik. Dari sisi occupational health, debu
diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:
- Respirable Dust
- Inhalable Dust
- Total Dust
Respirable dust adalah debu atau
partikel yang cukup kecil yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada
sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam.
Partikel yang masuk kebagian paru-paru bagian dalam atau sistem
pernapasan bagian dalam secara umum tidak bisa dikeluarkan oleh sistem
mekanisme tubuh secara alami (cilia dan mucous) maka akibatnya partikel
tersebut akan tinggal selama-lamanya didalam paru-paru.
MSHA mendefinisikan respirable dust
sebagai fraksi dari airbone dust yang lolos dari alat saring ukuran
partikel dengan karakteristik sebagai berikut:
Aerodynamic diameter, Mikron
(unit density spheres)
|
Percent passing selector
|
2.0
2.5
3.5
5.0
10.
|
90
75
50
25
0.0
|
EPA
menggambarkan inhalable dust sebagai debu yang bisa masuk kedalam tubuh
akan tetapi terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokkanm atau
sistem pernapasan bagian atas, ukuran inhalable dust berdiameter
kira-kira 10 mikron.
Total dust adalah semua airborne partikel tanpa mempertimbangkan ukuran dan komposisinya.
Pelepasan debu secara berlebihan keudara
dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan juga masalah di industri
tersebut, beberapa gangguan dan masalah tersebut diantaranya adalah:
- Bahaya kesehatan
- Penyakit pernapasan ditempat kerja
- Iritasi pada mata, telinga, hidung dan tenggorokkan
- Iritasi pada kulit
- Risiko dust explosion dan kebakaran
- Merusak peralatan
- Mengganggu penglihatan
- Bau yang tidak enak
- Masalah bagi komunitas sekitar pabrik
Perhatian terbesar adalah efek kesehatan pada pekerja
karena mereka terpapar secara berlebihan terhadap debu yang
membahayakan. Oleh karena itu untuk mengevaluasi tingkat bahaya
kesehatan ditempat kerja, American Conference of Governmental Industrial
Hygienists (ACGIH) telah mengadopsi sejumlah standar threshold limit values (TLV’s) atau nilai
ambang batas (NAB). Nilai TLV digunakan sebagai pentunjuk atau guidance
untuk mengevaluasi bahaya kesehatan. Nilai TLV (NAB) adalah nilai batas
paparan selama 8 jam kerja dimana tidak ada efek kesehatan yang
ditimbulkan. MSHA menggunakan nilai TLV untuk mengevaluasi kesehatan.
Tidak semua debu memberikan dampak kesehatan dengan level yang sama, hal tersebut tergantung pada faktor-faktor berikut:
- Komposisi debu
- Kimia
- Mineral
- Konsentrasi debu
- Berdasarkan berat: mg dust /m3 udara
- Berdasarkan jumlah: jutaan partikel/cubic foot udara
- Ukuran dan bentuk partikel
- Distribusi ukuran partikel didalam rentang ukuran respirable
- Fiberous atau spherical
- Lama paparan
Paparan yang berlebihan atau waktu yang
lama terhadap respirable dust yang berbahaya (harmful) dapat menyebabkan
penyakit pernapasan yang disebut pneumoconiosis. Penyakit ini
disebabkan oleh terkumpulnya atau menumpuknya debu mineral didalam
paru-paru dan merusak jaringan paru-paru. Pneumoconiosis adalah nama
umum dari penyakit paru-paru yang disebabkan oleh debu. Beberapa jenis
penyakit pneumoconiosis adalah:
- Silicosis – Silicosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu kuarsa atau silca. Kondisi paru-paru ditandai dengan nodular fibrosis (parut pada jaringan paru-paru), mengakibatkan sesak napas. Silikosis adalah penyakit yang irreversible atau tidak bisa disembuhkan, bahkan tahapan lanjut bersifat progresive meskipun sudah tidak terpapar lagi.
- Black Lung (Paru Hitam) – paru hitam adalah bentuk pneumokoniosis yang disebabkan oleh penumpukan debu batubara didalam paru-paru yang membuat jaringan paru-paru menjadi gelap atau hitam. Penyakit ini juga bersifat progresif. Meskipun nama penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit paru hitam, namun nama resminya adalah pneumokoniosis pekerja batubara (coal worker’s pneumoconiosis (CWP)).
- Asbestosis – Asbestosis adalah suatu bentuk pneumokoniosis yang disebabkan oleh serat asbes. Dan penyakit ini juga bersifat irreversibel.
Pengendalian debu (dust control)
adalah proses pengurangan emisi debu dengan menggunakan prinsip-prinsip
enjineering. Sistem kontrol yang dirancang dengan baik, dirawat dengan
baik dan dioperasikan dengan baik akan dapat mengurangi emisi debu
sehingga mengurangi paparan debu berbahaya bagi pekerja. Pengendalian
debu juga dapat mengurangi kerusakkan mesin, perawatan dan downtime,
peneglihatan yang baik (bersih) dan meningkatkan moral dan semangat
kerja para pekerja. Ada tiga sistem pengendalian paparan debu terhadap
pekerja, yaitu:
- Pencegahan
- Sistem kontrol
- Dilusi atau isolasi.
Pencegahan – Pepatah
mengatakan ” mencegah lebih baik daripada mengobati”. Pencegahan
terjadinya debu di area kerja juga dapat diterapkan. Meskipun dalam
proses produksi yang massal, dimana bahan baku atau produk yang
digunakan menghasilkan debu, maka tentu saja sistem pencegahan hampir
tidak mungkin dilakukan. Namun jika proses tersebut dirancang secara
baik untuk memenimalkan debu, misalnya dengan menggunakan sistem
penanganan yang tidak menimbulkan debu, maka emisi debu dapat dikurangi.
Sistem Kontrol –
Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika masih
terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian
atau pengontrolan terhadap debu tersebut. Beberapa teknik pengendalian
yang dapat dilakukan adalah seperti dust collection systems, sistem pwet
dust suppression systems, and airborne dust capture through water
sprays.
- Dust Collection Systems – menggunakan prinsip ventilasi untuk menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian udara bersih dialirkan keluar.
- Wet Dust Suppression Systems – menggunakan cairan (yang banyak digunakan adalah air, tapi bisa juga bahan kimia yang bisa mengikat debu) untuk membasahi bahan yang bisa menghasilkan debu tersebut sehingga bahan tersebut tidak cenderung menghasilkan debu.
- Airborne Dust Capture Through Water Sprays – menyemprot debu-debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan kimia pengikat, semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil (droplet) sehingga bisa menyebar diudara dan mengikat debu yang berterbangan membentuk agglomerates sehingga turun kebawah.
Dilution Ventilation –
teknik ini adalah untuk mengurangi konsentrasi debu yang ada di udara
dengan mendilusi udara berdebu dengan udara tidak berdebu atau bersih.
Secara umum sistem ini masih kurang baik untuk kesehatan karena debu
pada dasarnya masih terdapat diudara, akan tetapi sistem ini bisa
digunakan jika sistem lain tidak diijinkan untuk digunakan.
Isolation – teknik ini
adalah dengan cara memisahkan pekerja dengan udara yang terkontaminasi,
pemisahan bisa dilakukan dengan mengisolasi pekerja kemudian di suplai
dengan udara bersih dari luar. Contoh Supplier air system.
26" Metode Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja Menurut OSHA 1910.95
Metode Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja Menurut OSHA 1910.95
I. Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja
(1) Tingkat atau dosis Kebisingan dihitung dengan menggunakan tabel G-16A sebagai berikut:
(i) Ketika tingkat suara, L, adalah konstan selama jam kerja, maka dosis kebisingan, D (%), adalah sama dengan D=100 C/T, dimana C adalah total lama hari kerja dalam jam, dan T adalah durasi referensi yang sesuai dengan tingkat suara yang diukur, L, seperti yang terdapat pada tabel G-16A atau dengan dihitung dengan rumus seperti pada catatan kaki pada tabel.
(ii) Ketika paparan kebisingan pada jam kerja terdiri dari dua atau lebih periode kebisingan dengan tingkat yang berbeda, dosis kebisingan total selama selama hari kerja dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D = 100 (C(1)/T(1) + C(2)/T(2) + ... + C(n)/T(n)),Dimana C(n) adalah total waktu paparan pada level kebisingan tertentu, dan T(n) adalah referensi durasi pada level tersebut yang terdapat pada tabel G-16A.
(2) Total paparan rata-rata dalam 8 jam kerja (TWA), dalam decibel, dapat dihitung dari dosis (%), dengan menggunakan rumus: TWA = 16,61 log (10) (D/100) + 90. Untuk jam kerja shoft 8 jam dengan level kebisingan konstan selama jam kerja, TWA sama dengan tingkat suara yang diukur.
(3) Tabel yang berkaitan dengan dosis dan TWA dapat dilihat pada bagian II.
TABLE G-16A
A-weighted sound level, L (decibel) Reference duration,
T (hour)
_________________________________________________
80................................... 32
81................................... 27.9
82................................... 24.3
83................................... 21.1
84................................... 18.4
85................................... 16
86................................... 13.9
87................................... 12.1
88................................... 10.6
89................................... 9.2
90................................... 8
91................................... 7.0
92................................... 6.1
93................................... 5.3
94................................... 4.6
95................................... 4
96................................... 3.5
97................................... 3.0
98................................... 2.6
99................................... 2.3
100.................................. 2
101.................................. 1.7
102.................................. 1.5
103.................................. 1.3
104.................................. 1.1
105.................................. 1
106.................................. 0.87
107.................................. 0.76
108.................................. 0.66
109.................................. 0.57
110.................................. 0.5
111.................................. 0.44
112.................................. 0.38
113.................................. 0.33
114.................................. 0.29
115.................................. 0.25
116.................................. 0.22
117.................................. 0.19
118.................................. 0.16
119.................................. 0.14
120.................................. 0.125
121.................................. 0.11
122.................................. 0.095
123.................................. 0.082
124.................................. 0.072
125.................................. 0.063
126.................................. 0.054
127.................................. 0.047
128.................................. 0.041
129.................................. 0.036
130.................................. 0.031
______________________________________________Referensi durasi dalam table diatas, T, dihitung dengan rumus:
T= 8/2(L-90)/5
Dimana L adalah level kebisingan yang diukur.
II. Konversi antara “Dosis dan Paparan rata-rata selama 8 jam kerja.
Jumlah paparan biasanya diukur dengan
menggunakan audiodosimeter yang terbaca dalam bentuk Dosis. Untuk
memudahkan pembacaan maka pembacaan dosimeter dikonversi menjadi Tingkat
paparan selama 8 Jam kerja (TWA). Tabel A-1 adalah hasil konversi
pembacaan dosimeter menjadi TWA. Tabel ini digunakan oleh produsen
dosimeter untuk menetapkan perhitungan dosis atau persen paparan sesuai
dengan hubungan pada tabel G-16a. Misalnya dosis 91% dari hasil 8 jam
kerja pada TWA diperoleh nilai
89,3 dB, dosis 50% pada nilai TWA diperoleh 85 dB. Jika nilai dosis
yang terbaca dari dosimeter lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai
yang terdapat didalam tabel A-1, maka nilai TWA dapat dihitung dengan
menggunakan rumus: TWA = 16.61 log(10) (D/100) + 90. Dimana TWA =
Tingkat paparan rata-rata 8 jam kerja, D= akumulasi dosis dalam persen
paparan.
TABLE A-1 – CONVERSION FROM “PERCENT NOISE EXPOSURE”
OR “DOSE” TO “8-HOUR TIME-WEIGHTED
AVERAGE SOUND LEVEL” (TWA)
______________________________________________
Dose or percent noise exposure TWA
______________________________________________
10 ............................. 73.4
15 ............................. 76.3
20 ............................. 78.4
25 ............................. 80.0
30 ............................. 81.3
35 ............................. 82.4
40 ............................. 83.4
45 ............................. 84.2
50 ............................. 85.0
55 ............................. 85.7
60 ............................. 86.3
65 ............................. 86.9
70 ............................. 87.4
75 ............................. 87.9
80 ............................. 88.4
81 ............................. 88.5
82 ............................. 88.6
83 ............................. 88.7
84 ............................. 88.7
85 ............................. 88.8
86 ............................. 88.9
87 ............................. 89.0
88 ............................. 89.1
89 ............................. 89.2
90 ............................. 89.2
91 ............................. 89.3
92 ............................. 89.4
93 ............................. 89.5
94 ............................. 89.6
95 ............................. 89.6
96 ............................. 89.7
97 ............................. 89.8
98 ............................. 89.9
99 ............................. 89.9
100 ............................ 90.0
101 ............................ 90.1
102 ............................ 90.1
103 ............................ 90.2
104 ............................ 90.3
105 ............................ 90.4
106 ............................ 90.4
107 ............................ 90.5
108 ............................ 90.6
109 ............................ 90.6
110 ............................ 90.7
111 ............................ 90.8
112 ............................ 90.8
113 ............................ 90.9
114 ............................ 90.9
115 ............................ 91.1
116 ............................ 91.1
117 ............................ 91.1
118 ............................ 91.2
119 ............................ 91.3
120 ............................ 91.3
125 ............................ 91.6
130 ............................ 91.9
135 ............................ 92.2
140 ............................ 92.4
145 ............................ 92.7
150 ............................ 92.9
155 ............................ 93.2
160 ............................ 93.4
165 ............................ 93.6
170 ............................ 93.8
175 ............................ 94.0
180 ............................ 94.2
185 ............................ 94.4
190 ............................ 94.6
195 ............................ 94.8
200 ............................ 95.0
210 ............................ 95.4
220 ............................ 95.7
230 ............................ 96.0
240 ............................ 96.3
250 ............................ 96.6
260 ............................ 96.9
270 ............................ 97.2
280 ............................ 97.4
290 ............................ 97.7
300 ............................ 97.9
310 ............................ 98.2
320 ............................ 98.4
330 ............................ 98.6
340 ............................ 98.8
350 ............................ 99.0
360 ............................ 99.2
370 ............................ 99.4
380 ............................ 99.6
390 ............................ 99.8
400 ............................ 100.0
410 ............................ 100.2
420 ............................ 100.4
430 ............................ 100.5
440 ............................ 100.7
450 ............................ 100.8
460 ............................ 101.0
470 ............................ 101.2
480 ............................ 101.3
490 ............................ 101.5
500 ............................ 101.6
510 ............................ 101.8
520 ............................ 101.9
530 ............................ 102.0
540 ............................ 102.2
550 ............................ 102.3
560 ............................ 102.4
570 ............................ 102.6
580 ............................ 102.7
590 ............................ 102.8
600 ............................ 102.9
610 ............................ 103.0
620 ............................ 103.2
630 ............................ 103.3
640 ............................ 103.4
650 ............................ 103.5
660 ............................ 103.6
670 ............................ 103.7
680 ............................ 103.8
690 ............................ 103.9
700 ............................ 104.0
710 ............................ 104.1
720 ............................ 104.2
730 ............................ 104.3
740 ............................ 104.4
750 ............................ 104.5
760 ............................ 104.6
770 ............................ 104.7
780 ............................ 104.8
790 ............................ 104.9
800 ............................ 105.0
810 ............................ 105.1
820 ............................ 105.2
830 ............................ 105.3
840 ............................ 105.4
850 ............................ 105.4
860 ............................ 105.5
870 ............................ 105.6
880 ............................ 105.7
890 ............................ 105.8
900 ............................ 105.8
910 ............................ 105.9
920 ............................ 106.0
930 ............................ 106.1
940 ............................ 106.2
950 ............................ 106.2
960 ............................ 106.3
970 ............................ 106.4
980 ............................ 106.5
990 ............................ 106.5
999 ............................ 106.6
___________________________________________Menurut OSHA 1910.95 paparan kebisingan yang diijinkan menurut waktu kerja adalah seperti terdapat didalam table G-16.
TABLE G-16 – PERMISSIBLE NOISE EXPOSURES (1)
______________________________________________________________
|
Duration per day, hours | Sound level dBA slow response
____________________________|_________________________________
|
8...........................| 90
6...........................| 92
4...........................| 95
3...........................| 97
2...........................| 100
1 1/2 ......................| 102
1...........................| 105
1/2 ........................| 110
1/4 or less................| 115
____________________________|________________________________
sumber http://healthsafetyprotection.com/metode-perhitungan-paparan-kebisingan-pada-pekerja-menurut-osha-1910-95/
25" Mengatasi Keengganan Terhadap Perubahan (Resistant To Change)
Mengatasi Keengganan Terhadap Perubahan (Resistant To Change)
Banyak sekali para pekerja yang enggan atau alergi ketika dilakukan perubahan terhadap proses atau sistem kerja
yang sudah biasa mereka lakukan. Tidak hanya pekerja atau operator,
bahkan para manajer pun kadangkala sangat resitant terhadap perubahan.
Alasan utama keengganan untuk melakukan perubahan pada umumnya adalah
bahwa mereka merasa sistem atau proses yang sudah berjalan selama ini
sudah yang terbaik, sudah nyaman, tidak pernah terjadi kecelakaan, dan berbagai alasan lain sehingga enggan terhadap perubahan.
Enggan terhadap perubahan adalah suatu
reaksi yang natural, bentuk reaksi dari keengganan bisa bermacam-macam,
namun reaksi awal keengganan terhadap perubahan biasanya dalam bentuk
mengabaikan kebutuhan untuk berubah, sebagai contoh “ kami telah
melakukan proses ini dengan cara seperti ini dan tidak pernah terjadi
kecelakaan, hanya orang-orang yang kurang hati-hati saja yang bisa
celaka”, cara berfikir mereka inilah yang menyebabkan mereka enggan
untuk melakukan perubahan, dan mereka cenderung berlawanan dengan
ide-ide perubahan. Mereka merasa ketakutan terhadap bentuk perubahan
yang belum mereka ketahui, merasa bahwa setiap perubahan akan menambah
beban kerja mereka dan merasa khawatir bahwa cara kerja mereka selama
ini akan ketahuan kekurangannya.
Adabeberapa bentuk alasan yang menyebabkan orang enggan terhadap perubahan, yaitu:
- Alasan Emosional
- Alasan Kognitif
- Alasan Sosial
- Alasan Perilaku
- Alasan Organisasi
Alasan Emosional
Alasan emosional muncul apabila mereka
bisa membuat situasi dimana mereka bisa merubah rasa takut menjadi rasa
marah mereka terhadap perubahan, atau berusaha mengejek terhadap
usaha-usaha perubahan dengan membuat malu sipembawa perubahan tersebut.
Sebagai contoh, ketika seseorang berusaha untuk memulai melakukan
pekerjaan secara aman atau berperilaku aman, maka orang-orang yang tidak
menyukai perubahan tersebut akan mulai mengejek atau marah karena
khawatir perusahaan akan menyalahkan mereka.
Alasan Kognitif
Alasan kognitif muncul apabila ada
kesempatan untuk mengurangi atau menghilangkan keinginan untuk berubah.
Sebagai contoh orang akan mengatakan “Kita telah melakukan proses kerja seperti ini selama 30 tahun, kenapa sekarang kita harus merubahnya?”
Mereka berusaha untuk meyakinkan sipembawa perubahan dengan pernyataan
tersebut. Atau mereka melakukan dengan cara lain yaitu mengalihkan topik
perubahan tersebut menjadi topik lain yang sepele untuk membingungkan
orang-orang.
Alasan Sosial
Alasan sosial biasanya muncul karena
adanya faktor pertemanan, perasaan tidak enak sama yang lain,
ikut-ikutan toleransi atau takut dikucilkan oleh yang lain didalam
kelompok kerjanya.
Alasan Perilaku
Alasan perilaku bisanya dapat dilihat
dari cara mereka menanggapi perubahan misalnya dengan mengulur-ulur
waktu perubahan, mencari-cari alasan seperti tidak ada waktu, terlalu
sibuk, sulit untuk mengumpulkan team untuk mendiskusikan perubahan
tersebut, selalu berargumentasi atau bertanya tentang hal-hal yang
sepele tentang initiatif perubahan tersebut. Mereka seolah-olah
mendukung perubahan, namun tidak mau atau selalu gagal melakukannya.
Alasan Organisasi
Keengganan untuk berubah juga bisa
datang dari organisasi, departemen atau kelompok kerja. Keengganan
tersebut merupakan keputusan kolektif dari organisasi tersebut. Hal yang
paling sering diungkapkan adalah ”Kami tidak pernah mengalami kecelakaan disini”.
Dengan mengenali alasan-alasan
keengganan terhadap perubahan tersebut, maka dapat dibuat strategi dan
rencana yang baik untuk melakukan perubahan didalam organisasi. Cara
yang paling baik dalam mengatasi keengganan adalah dengan melibatkan
setiap orang didalam organisasi didalam proses perubahan tersebut,
berikut adalah hal-hal yang sebaiknya diketahui dan dilakukan dalam
menanganani keengganan untuk berubah:
- Mengetahui alasan keengganan
- Menyadari untuk apa berubah
- Jelas tentang perubahan yang dibutuhkan
- Memberi penjelasan tentang alasan perubahan
- Meminta kerjasama bukan paksaan
- Mendorong untuk berdiskusi
- Meminta masukkan dan menjalankan masukkan tersebut (bukan basa-basi)
- Fleksible dan bersedia bernegosiasi
- Jelas rentang waktu yang dibutuhkan untuk proses perubahan tersebut.
Langganan:
Postingan (Atom)