Selasa, 22 November 2016

TUGAS INDIVIDU "IDENTIFIKASI HAZARD DAN 5 TINGKAT PENGENDALIAN RESIKO"

30" Sekilas Tentang Global Harmonize System (GHS)

Sekilas Tentang Global Harmonize System (GHS)

Global Harmonize System atau disingkat GHS cukup ramai dibicarakan akhir-akhir ini. Soalnya menteri perindustrian telah mengeluarkan keputusan no 87/M-IND/PER/9/2009 tentang sistem harmonisasi global klasifikasi dan label pada bahan kimia. Menurut peraturan manteri ini semua bahan kima yang dipasarkan di Indonesia wajib mengikuti klasifikasi dan label yang ditetapkan oleh sistem GHS. Maksudnya adalah semua bahan kimia harus memiliki Material Safety Data Sheet (MSDS) atau dalam peraturan ini disebut Lembar Data Keselamatan Bahan (LDKB) yang mengacu pada sistem pengklasifikasian yang ditetapkan oleh sistem GHS. Demikian pula halnya dengan label bahan kimia harus mengacu pada sistem GHS yang sama.
Apa itu GHS?
GHS adalah sistem pengklasifikasian keselamatan bahan kimia yang dikeluarkan oleh United Nation. Sampai saat ini UN telah melakukan 3 kali revisi terhadap sistem GHS yang dikeluarkan, sistem GHS yang dikeluarkan dikenal dengan Purple Book.
Kenapa perlu GHS?
UN mecoba untuk menyamakan klasifikasi bahan kimia diseluruh dunia. Karena selama ini masing-masing negara memiliki klasifikasi yang berbeda-beda. Sebagai contoh, suatu bahan kimia dikategorikan bersifat high toxic disuatu negara akan tetapi dinegara lain bisa jadi bersifat low toxic, atau suatu produk dikategorikan bersifat flammable disuatu negara dan tidak bersifat flammable dinegara lain. Dampaknya adalah, negara-negara yang mengklasifikasikan produk tersebut sebagai high toxic atau flammable akan membuat berbagai peraturan untuk mengontrol produk tersebut, sementara negara yang mengkategorikan produk tersebut low toxic / tidak flammable akan membiarkan penjualan secara bebas tanpa kontrol. Hal ini juga akan menyulitkan negara pengimpor atau pengekspor bahan kimia karena berbedanya klasifikasi bahan kimia antara negara pengekspor dan pengimpor. Perbedaan ini juga berdampak pada MSDS dan sistem pelabelan bahan kimia tersebut yang nantinya akan menyulitkan negara pengimpor karena mereka harus merevisi MSDS dan melakukan pelabelan ulang sesuai dengan klasifikasi yang mereka miliki. Berdasarkan hal ini UN menguarkan sistem GHS untuk memudahkan dunia industri dalam melakukan perdagangan bahan kimia dan juga untuk melindungi lingkungan dan manusia dari dampak penggunaan bahan kimia. Didalam purple book disebut bahwa tujuan dari GHS adalah sebagai berikut:
  • Untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap kesehatan manusia dan lingkungan dengan menyediakan sistem yang lebih komprehensif secara internasional untuk mengkomunikasikan bahaya bahan kimia.
  • Menyediakan framwork untuk negara-negara yang belum memiliki sistem klasifikasi dan label bahan kimia.
  • Mengurangi kebutuhan akan pengujian dan evaluasi bahan kimia.
  • Memfasilitasi perdagangan internasional bahan kimia dimana bahaya bahan kimia tersebut sudah dikaji dan diidentifikasi dengan basis internasional.
Apa saja ruang lingkup GHS?
Didalam purple book dinyatakan bahwa ada dua elemen ruang lingkup GHS, yaitu:
  • Kriteria yang harmonis untuk klasifikasi bahan kimia tunggal dan campuran sesuai dengan bahaya kesehatan, lingkungan dan fisik bahan kimia tersebut.
  • Elemen komunikasi bahaya yang harmonis, termasuk persyaratan untuk label dan safety data sheet.
Ada beberapa jenis produk kimia yang tidak termasuk dalam ruang lingkup ini, yaitu farmasi, additif untuk bahan makanan, kosmetik, dan residu pestisida didalam bahan makanan.
Bagaimana mengaplikasikan GHS?
Untuk mengaplikasikan GHS di Indonesia tentu saja mengacu pada peraturan menteri perindustrian nomor 87/M-IND/PER/9/2009. Disana sudah ditetapkan format LDKB atau MSDS dan persyaratan untuk label. Namun untuk klasifikasi bahan kimia mengacu pada purple book revisi 2, hal ini disebutkan dalam keputusan dirjen industri Agro dan Kimia kementerian perindustrian no 21/IAK/PER/4/2010 tentang petunjuk teknis penerapan sistem harmonisasi global klasifikasi dan pelabelan bahan kimia. Namun dalam petunjuk ini tidak disebutkan tentang teknis building blok yang harus diadopsi, ini berarti Indonesia mengadopsi 100% building blok yang ditetapkan pada purple book revisi 2. Berdasarkan peraturan menteri perindustrian tersebut diatas, sistem GHS untuk kimia tunggal sudah mulai berlaku sejak bulan Maret 2010 sementara untuk bahan kimia campuran masih bersifat sukarela dalam penerapannya, dan mulai berlaku efektif untuk bahan kimia campuran pada awal tahun 2014.
Untuk mengklasifikasikan bahan kimia sesuai dengan klasifikasi GHS diperlukan training dan keahlian khusus. Meskipun didalam purple book sudah dijelaskan secara rinci bagaimana cara melakukan klasifikasi setiap bahaya bahan kimia tersebut, namun diperlukan keahlian dan pengetahuan yang baik tentang bahan kimia dan bahayanya dalam melakukan klasifikasi tersebut agar tidak terjadi kekeliruan. Menurut peraturan menteri perindustrian tentang GHS, semua bahan kimia harus diklasifikasikan berdasarkan kriteria bahaya GHS yang terdiri dari bahaya fisik, bahaya terhadap kesehatan dan bahaya terhadap lingkungan akuatik. Bahaya fisik misalnya eksplosive, gas mudah menyala, cairan pengoksidasi, korosif pada logam, dan lain-lain. Bahaya terhadap kesehatan misalnya toksisitas akut, korosi/iritasi kulit, karsinogenisitas, dan lain-lain.
Dan setiap bahan kimia tersebut juga harus diberi label sesuai dengan GHS yang ditetapkan, dimana label tersebut harus mengandung unsur penanda produk, piktogram bahaya, kata sinyal, pernyataan bahaya, identifikasi produsen dan pernyataan kehati-hatian. Label tersebut juga harus mudah terbaca, jelas terlihat, tidak mudah rusak, tidak mudah lepas dari kemasannya dan tidak mudah luntur karena pengaruh sinar, udara atau lainnya. Piktogram yang digunakan juga harus sesuai dengan peraturan GHS yang terdapat pada lampiran I dari peraturan menteri tentang GHS.
Bahan kimia juga harus dilengkapi dengan MSDS (LDKB), didalam peraturan menteri tentang GHS bahwa MSDS dan Label wajib berbahasa Indonesia. Informasi yang terkandung didalam GHS adalah informasi bahaya fisik, bahaya terhadap kesehatan dan bahaya terhadap lingkungan akuatik yang sudah diklasifikasikan sesuai dengan kriteria bahaya GHS, dan informasi lainnya sesuai dengan format yang sudah ditetapkan. Format MSDS/LDKB sesuai dengan peraturan menteri tentang GHS (lampiran II) terdiri dari 16 section, yaitu:
  1. Identifikasi senyawa (Tunggal atau Campuran)
  2. Identifikasi bahaya
  3. Komposisi/Informasi tentang bahanpenyusun senyawa tunggal
  4. Tindakan pertolongan pertama
  5. Tindakan pemadaman kebakaran
  6. Tindakan penanggulangan jika terjadi kebocoran
  7. Penanganan dan penyimpanan
  8. Kontrol paparan/perlindungan diri
  9. Sifat fisika dan kimia
  10. Stabilitas dan Reaktifitas
  11. Informasi Toksikologi
  12. Informasi Ekologi
  13. Pertimbangan pembuangan / pemusnahan
  14. Informasi transportasi
  15. Informasi yang berkaitan dengan regulasi
  16. Informasi lain termasuk informasi yang diperlukan dalam pembuatan dan revisi SDS.
Sebaiknya mulai dari sekarang anda menyesuaikan MSDS/LDKB bahan kimia yang anda produksi sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh peraturan menteri perindustrian tersebut diatas. Jika anda membeli bahan kimia dari pemasok bahan kimia, maka sebaiknya anda meminta MSDS/LDKB yang sudah mengikuti GHS.

 

29" Toksikologi Bahan Kimia

Toksikologi Bahan Kimia

Kita pasti sudah sering mendengar kata toksik atau dalam bahasa yang umum adalah beracun, sementara toksikologi adalah studi mengenai efek yang tidak diinginkan dari zat-zat kimia terhadap organisme hidup. Klasifikasi bahan toksik dapat dilakukan dengan berbagai cara tergantung dari minat dan tujuan pengelompokkannya.  Sebagai contoh pengklasifikasian dapat dilakukan berdasarkan:
  • Organ targetnya : Hati, Ginjal, Sistem hermatopotik, dll.
  • Penggunaanya: Pestisida, Pelarut, Aditif, dll.
  • Sumbernya: Toksik tumbuhan dan binatang.
  • Efeknya: Kanker, Mutasi, Kerusakkan hati, dll.
  • Fisiknya: Gas, Debu, Cair, Aerosol.
  • Sifatnya: Mudah meledak, Korosif, Iritasi, dll
  • Kandungan kimianya: Amina aromatik, Hydrokarbon, Halogen, dll.
Efek toksik dalam sistem biologis tidak akan terjadi jika bahan kimia tersebut tidak mencapai tempat yang sesuai didalam tubuh pada konsentrasi dan lama waktu yang cukup untuk menghasilkan manifestasi toksik. Terjadi tidaknya respons toksik tergantung pada sifat kimia dan fisik dari bahan tersebut, situasi paparan, dan kerentanan sistem biologis dari subjek. Oleh karena itu untuk mengetahui karakteristik lengkap tentang bahaya potensial dan toksisitas dari suatu bahan kimia tertentu, maka perlu diketahui tidak hanya efek-efek dan dosis yang diperlukan untuk mengahsilkan efek tersebut, tetapi juga informasi mengenai sifat bahan kimianya sendiri, pemaparannya, dan subjeknya. Faktor utama yang mempengaruhi toksisitas yang berhubungan dengan situasi pemaparan terhadap bahan kimia tertentu adalah jalur masuk (route of entry) kedalam tubuh, jangka waktu dan frekuensi pemaparan.
Ada 3 jalur utama bahan toksik masuk kedalam tubuh manusia yaitu melalui saluran pencernaan atau makanan (gastro intestinal), jalur pernapasan (inhalasi) dan melalui kulit (topikal). Bahan toksik masuk kedalam saluran pencernaan umunya melalui makanan atau minuman dan kemudian diserap didalam lambung. Bahan toksik yang masuk melalui saluran pernapasan menuju paru-paru akan diserap oleh alveoli paru-paru. Pada umumnya kulit lebih impermeabel dan karenanya merupakan barier (penghalang) yang baik bagi bahan toksik masuk kedalam tubuh. Namun beberapa bahan kimia dapat diserap oleh kulit dalam jumlah yang cukup banyak sehingga menimbulkan efek sistemik. Suatu zat kimia dapat diserap lewat folikel rambut atau lewat sel-sel kelenjar keringat. Setelah bahan toksik tersebut diserap dan masuk kedalam darah, kemudian didistribusikan keseluruh tubuh dengan cepat. Namun demikian sebagian bahan toksik dapat dikeluarkan oleh mekanisme tubuh secara alami melalui urine, empedu dan paru-paru. Dan sebagian lagi bisa mengalam biotransformasi dan bioaktivasi. Yang lebih berbahaya adalah jika terjadi proses bioaktivasi dimana bahan toksik diubah menjadi bahan yang lebih toksik oleh metabolisme tubuh.
Karakteristik pemaparan dan spectrum efek secara bersamaan membentuk hubungan korelasi yang dikenal sebagai hubungan dosis-respons. Respons timbul karena adanya bahan kimia yang diberikan dan respons berhubungan dengan dosis. Dalam penggunaan dosis-respon harus ada metode kuantitatif untuk mengukur secara tepat toksisitas dari suatu bahan kimia. Dosis-respons dinyatakan dengan suatu indek Lethal Dosis (LD50) dan Lethal Concentration (LC50). LD50 adalah dosis tunggal dari suatu zat yang secara statistik diharapkan dapat menyebabkan kematian sebanyak 50% dari binatang percobaan selama 14 hari paparan. Sebagai contoh LD50 dari Acrylamid adalah 124 ppm, artinya pada konsentrasi 124 ppm 50% dari binatang percobaan mati selama masa percobaan 14 hari. Secara lebih spesifik OSHA mendefiniskan LD50 dan LC50 sebagai berikut:
  • LD50 means lethal dose expressed in mg/kg body mass, which is likely to cause death within 14 days for 50% of the tested animals,administrated by mouth or bare skin.
  • LC50 means the lethal concentration expressed in mg/L or mL/m3, which is likely to cause death within 14 days for 50% of the tested animals, administrated by inhalation of dusts or mists or vapour.
Efek dari keracunan bisa bersifat akut dan kronik. Efek akut adalah efek yang segera muncul pada saat terpapar atau terkena bahan toksit, dan akan hilang setelah paparan bahan kimia beracun tersebut dihilangkan. Contoh bahan kimia yang dapat menimbulkan efek akut adalah Ammonia, apabila terhirup uap ammonia maka sekita kita akan merasa mual dan pusing, akan tetapi pada konsentrasi tinggi dapat merusak paru-paru. Bahan kimia yang bersifat kronik misalnya adalah asbestos, paparan terhadap debu asbes tidak segera menyebabkan kerusakan pada paru-paru, akan tetapi apabila terpapar dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan kanker paru-paru. Karbon monoksida (CO) dapat mengakibatkan efek akut dan kronis, apabila terhirup gas CO maka kepala akan pusing dan terasa mual, namun dalam jangka panjang dapat menyebabkan kerusakkan pada paru-paru. Efek toksik juga bisa bersifat reversible atau ireversibel. Efek reversible artinya efek yang dapat hilang dengan sendirinya. Efek irreversible adalah efek yang akan menetap atau bertambah. Efek irreversible diantaranya adalah karsinoma, mutasi, kerusakan syaraf dan sirosis hati. Efek reversible terjadi apabila terpapar dengan konsentrasi yang rendah atau jangka waktu tidak lama, efek ireversibel bisa terjadi apabila terpapar dengan konsentrasi yang tinggi dan waktu yang lama.
Untuk menghindari agar tidak keracunan adalah dengan tidak menggunakan bahan beracun atau tidak kontak dengan bahan beracun. Namun dalam dunia industri tentu saja hal itu sulit dilakukan, karena kita memerlukan bahan-bahan kimia didalam proses produksi sehari-hari, artinya hampir setiap hari kita bergelut dengan bahan kimia yang sebagian besar beracun. Dalam situasi seperti ini, dimana kita tidak bisa menghindari menggunakan bahan-bahan kimia beracun, maka yang harus kita lakukan adalah:
  1. Mengenal bahan kimia yang kita gunakan dengan baik. Kenalilah sifat-sifat kimia terutama sifat toksik dari bahan yang kita gunakan sehingga kita tahu efek yang dapat ditimbulkannya.
  2. Mengetahui cara penanganan dan penggunaanya secara baik untuk menghindari paparan yang tidak perlu.
  3. Usahakan seminimal mungkin untuk kontak atau terpapar terhadap bahan kimia beracun tersebut. Hati-hati jika pada bahan kimia cair yang mudah menguap, jangan berasumsi bahwa semua cairan tidak mengguap, salah satu indikator bahwa bahan kimia cair menguap adalah adanya bau yang ditimbulkan, namun tidak semua uap kimia berbau.
  4. Gunakan alat pelindung diri (APD) yang tepat dalam menangani bahan kimia beracun. Jika bekerja dengan bahan kimia cair maka gunakan safety glove yang sesuai dan safety glases jika diperlukan. Jika bekerja dengan bahan kimia berupa gas atau uap maka gunakan respirator yang dapat melindungi dari uap atau gas kimia.
  5. Kenali cara penanganan jika terjadi tumpahan atau kebocoran bahan kimia beracun tersebut.
  6. Pelajari tindakan pertolongan pertama (first aids) jika terjadi kecelakaan keracunan pada saat bekerja.
  7. Konsultasikan kesehatan anda dengan Dokter jika ada gejala-gejala keracunan yang anda rasakan.
Anda bisa mendapatkan semua informasi tersebut didalam Material Safety Data Sheet (MSDS) dari bahan kimia yang anda gunakan. Oleh sebab itu pastikan bahwa semua bahan kimia yang anda gunakan memiliki MSDS dan dikomunikasikan kepada semua pekerja yang menggunakan bahan kimia tersebut.

 

28" Pemahaman Tentang Bahaya (HAZARD)

Pemahaman Tentang Bahaya (HAZARD)

Bahaya (hazard) adalah faktor intrinsik yang melekat pada sesuatu (bisa pada barang ataupun suatu kegiatan maupun kondisi), misalnya pestisida yang ada pada sayuran ataupun panas yang keluar dari mesin pesawat. Bahaya ini akan tetap menjadi bahaya tanpa menimbulkan dampak/ konsekuensi ataupun berkembang menjadi accident bila tidak ada kontak (exposure) dengan manusia. Sebagai contoh, panas yang keluar dari mesin pesawat tidak akan menimbulkan kecelakaan jika kita tidak menyentuhnya. Proses kontak antara bahaya dengan manusia ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme, yaitu:
  1. Manusia yang menghampiri bahaya.
  2. Bahaya yang menghampiri manusia melalui proses alamiah.
  3. Manusia dan bahaya saling menghampiri.
Jenis bahaya
Berdasarkan jenisnya, bahaya dapat diklasifikasikan atas:
1. Primary Hazards
  1. Bahaya fisik, misalnya yang berkaitan dengan peralatan seperti bahaya listrik.
  2. Bahaya kimia, misalnya yang berkaitan dengan material/ bahan seperti antiseptik, aerosol, insektisida, dan lain-lain.
  3. Bahaya biologi, misalnya yang berkaitan dengan mahluk hidup yang berada di lingkungan kerja seperti virus dan bakteri.
  4. Bahaya psikososial, misalnya yang berkaitan aspek sosial psikologis maupun organisasi pada pekerjaan dan lingkungan kerja yang dapat memberi dampak pada aspek fisik dan mental pekrja. Seperti misalnya pola kerja yang tak beraturan, waktu kerja yang diluar waktu normal, beban kerja yang melebihi kapasitas mental, tugas yang tidak berfariasi, suasana lingkungan kerja yang terpisah atau terlalu ramai dll sebagainya
Secara lebih rinci faktor yang berkaitan dengan aspek sosial psikologis tampak pada tabel berikut:
Kategori
Kondisi yang menggambarkan bahaya
Context to work
Fungsi dan budaya organisasi
Komunikasi yang buruk, rendahnya dukungan untuk pemecahan masalah dan pengembangan pribadi, kurangnya pemahaman terhadap tujuan organisasi
Peran dalam organisasi
Ambiguitas dan konflik peran, tanggung jawab terhadap orang lain
Pengembangan karir
Ketidakpastian dan stagnasi karir, underpromotion atau overpromotion, insentif yang buruk, rendahnya nilai sosial terhadap pekerjaan
Latitude keputusan/ pengendalian
Partisipasi yang rendah pada pembuatan keputusan, kurangnya pengendalian terhadap pekerjaan (pengendalian, khususnya pada bentuk partisipasi, termasuk juga konteks dan wider organizational issue)
Hubungan interpersonal pada pekerjaan
Isolasi sosial atau fisik, buruknya hubungan dengan atasan, konflik interpersonal, kurangnya dukungan sosial
Home-work interface
Konflik demand of work and home, dukungan rendah dari rumah, masalah dualisme karir
Lingkungan kerja dan perlengkapan kerja
Masalah yang berkaitan dengan reliabilitas, ketersediaan, kesesuaian, serta pemeliharaan atau perbaikan terhadap peralatan dan fasilitas
Desain tugas
Kurangnya keragaman dari siklus singkat kerja, fragmented atau meaningless work, underuse of skills, tingginya ketidakpastian
Beban kerja/ workpace
Beban kerja lebih atau kurang, kurangnya pengendalian terhadap over pacing, tingginya tingkat tekanan waktu
Jadwal kerja
Waktu gilir kerja, jadwal pekerjaan yang tidak fleksibel, waktu kerja yang tidak dapat diprediksi, waktu yang panjang atau unsocial
 Klasifikasi bahaya primer (primary hazards) menurut jenisnya tersebut membawa juga pengertian mengenai sumber bahaya yang dapat kita bagi atas:
  1. Manusia dengan segala karakteristiknya baik secara badani (fisik tubuh), mental, pengetahuan, keterampilan dan yang lainnya.
  2. Peralatan yang disainnya tidak tepat, kualiasnya mudah rusak ataupun kurang terawat, dan lain-lain.
  3. Material/ bahan yang secara kimiawi misalnya mempunyai tingkat toksisitas yang tinggi, dan lain-lain.
  4. Lingkungan tempat berlangsungnya pekerjaan yang kurang memadai, seperti sempit, kotor, licin, dan lain-lain.
2. Secondary hazard (bahaya sekunder)
Secondary hazard atau disebut juga bahaya sekunder adalah bahaya yang muncul sebagai akibat terjadinya interaksi antara komponen-komponen pekerjaan (yang juga bisa berfungsi sebagai sumber primary hazard). Interaksi ini sering kita sebut sebagai pekerjaan/ sistem kerja.

 

27" Mengenal Debu (Dust) dan Pengendaliannya (Dust Control)

Mengenal Debu (Dust) dan Pengendaliannya (Dust Control)

Debu atau Dust adalah partikel padat yang berukuran sangat kecil yang dibawa oleh udara. Partikel-partikel kecil ini dibentuk oleh suatu proses disintegrasi atau fraktur seperti penggilingan, penghancuran atau pemukulan terhadap benda padat. Mine Safety and Health Administration (MSHA) mendefinisikan debu sebagai padatan halus yang tersuspensi diudara (airbone) yang tidak mengalami perubahan secara kimia ataupun fisika dari bahan padatan aslinya.
Ukuran partikel debu yang dihasilkan dari suatu proses sangatlah bervariasi, mulai dari yang tidak bisa terlihat dengan mata telanjang sampai pada ukuran yang terlihat dengan mata telanjang. Ukuran partikel yang besar akan tertinggal pada permukaan benda atau turun kebawah (menetap sementara diudara) dan ukuran partikel yang kecil akan terbang atau tersuspensi diudara. Debu umumnya dalam ukuran micron, sebagai pembanding ukuran rambut adalah 50-70 micron.
Jenis industri yang menghasilkan debu dan banyak mencemari lingkungan atau udara adalah seperti konstruksi, agrikultur dan pertambangan. Didalam proses manufaktur, debu juga dapat dihasilkan dari berbagai aktifitas seperti crushing, grinding, abrasion dan lain-lain. Banyaknya debu yang dihasilkan oleh aktifitas industri sangat tergantung kepada jenis proses dan bahan yang digunakan atau diproses.
Debu fibrogenic seperti Kristal silica (free crystalline silica – FCS) atau asbestos adalah jenis debu yang sangat beracun dan jika masuk kedalam paru-paru dapat merusak paru-paru dan mempengaruhi fungsi atau kerja paru-paru.
Nuisance dust atau inert dust dapat didefinisikan sebagai debu yang mengandung kurang dari 1% quartz (kuarsa). Karena kandungan silica yang rendah, nuisance dust hanya sedikit mempengaruhi kesehatan paru-paru dan dapat disembuhkan jika terhirup. Akan tetapi jika konsentrasi nuisance dust sangat tinggi diudara area kerja maka dapat mengurangi penglihatan dan bisa menyebabkan masuk kedalam mata, telingga dan tenggorokan sehingga timbul rasa tidak nyaman dan juga bisa menyebabkan luka pada kulit atau mucous membrane baik karena aksi kimiawi atau mekanik. Dari sisi occupational health, debu diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu:
  • Respirable Dust
  • Inhalable Dust
  • Total Dust
Respirable dust adalah debu atau partikel yang cukup kecil yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Partikel yang masuk kebagian paru-paru bagian dalam atau sistem pernapasan bagian dalam secara umum tidak bisa dikeluarkan oleh sistem mekanisme tubuh secara alami (cilia dan mucous) maka akibatnya partikel tersebut akan tinggal selama-lamanya didalam paru-paru.
MSHA mendefinisikan respirable dust sebagai fraksi dari airbone dust yang lolos dari alat saring ukuran partikel dengan karakteristik sebagai berikut:
Aerodynamic diameter, Mikron
(unit density spheres)
Percent passing selector
2.0
2.5
3.5
5.0
10.
90
75
50
25
0.0
EPA menggambarkan inhalable dust sebagai debu yang bisa masuk kedalam tubuh akan tetapi terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokkanm atau sistem pernapasan bagian atas, ukuran inhalable dust berdiameter kira-kira 10 mikron.
Total dust adalah semua airborne partikel tanpa mempertimbangkan ukuran dan komposisinya.
Pelepasan debu secara berlebihan keudara dapat menyebabkan gangguan kesehatan dan juga masalah di industri tersebut, beberapa gangguan dan masalah tersebut diantaranya adalah:
  • Bahaya kesehatan
  • Penyakit pernapasan ditempat kerja
  • Iritasi pada mata, telinga, hidung dan tenggorokkan
  • Iritasi pada kulit
  • Risiko dust explosion dan kebakaran
  • Merusak peralatan
  • Mengganggu penglihatan
  • Bau yang tidak enak
  • Masalah bagi komunitas sekitar pabrik
Perhatian terbesar adalah efek kesehatan pada pekerja karena mereka terpapar secara berlebihan terhadap debu yang membahayakan. Oleh karena itu untuk mengevaluasi tingkat bahaya kesehatan ditempat kerja, American Conference of Governmental Industrial Hygienists (ACGIH)  telah mengadopsi sejumlah standar  threshold limit values (TLV’s) atau nilai ambang batas (NAB). Nilai TLV digunakan sebagai pentunjuk atau guidance untuk mengevaluasi bahaya kesehatan. Nilai TLV (NAB) adalah nilai batas paparan selama 8 jam kerja dimana tidak ada efek kesehatan yang ditimbulkan. MSHA menggunakan nilai TLV untuk mengevaluasi kesehatan.
Tidak semua debu memberikan dampak kesehatan dengan level yang sama, hal tersebut tergantung pada faktor-faktor berikut:
  • Komposisi debu
    • Kimia
    • Mineral
    • Konsentrasi debu
      • Berdasarkan berat: mg dust /m3 udara
      • Berdasarkan jumlah: jutaan partikel/cubic foot udara
      • Ukuran dan bentuk partikel
        • Distribusi ukuran partikel didalam rentang ukuran respirable
        • Fiberous atau spherical
      • Lama paparan
Paparan yang berlebihan atau waktu yang lama terhadap respirable dust yang berbahaya (harmful) dapat menyebabkan penyakit pernapasan yang disebut pneumoconiosis. Penyakit ini disebabkan oleh terkumpulnya atau menumpuknya debu mineral didalam paru-paru dan merusak jaringan paru-paru. Pneumoconiosis adalah nama umum dari penyakit paru-paru yang disebabkan oleh debu. Beberapa jenis penyakit pneumoconiosis adalah:
  • Silicosis – Silicosis adalah pneumoconiosis yang disebabkan oleh debu kuarsa atau silca. Kondisi paru-paru ditandai dengan nodular fibrosis (parut pada jaringan paru-paru), mengakibatkan sesak napas. Silikosis adalah penyakit yang irreversible atau tidak bisa disembuhkan, bahkan tahapan lanjut bersifat progresive meskipun sudah tidak terpapar lagi.
  • Black Lung (Paru Hitam) – paru hitam adalah bentuk pneumokoniosis yang disebabkan oleh penumpukan debu batubara didalam paru-paru yang membuat jaringan paru-paru menjadi gelap atau hitam. Penyakit ini juga bersifat progresif. Meskipun nama penyakit ini banyak dikenal sebagai penyakit paru hitam, namun nama resminya adalah pneumokoniosis pekerja batubara (coal worker’s pneumoconiosis (CWP)).
  • Asbestosis – Asbestosis adalah suatu bentuk pneumokoniosis yang disebabkan oleh serat asbes. Dan penyakit ini juga bersifat irreversibel.
Pengendalian debu (dust control) adalah proses pengurangan emisi debu dengan menggunakan prinsip-prinsip enjineering. Sistem kontrol yang dirancang dengan baik, dirawat dengan baik dan dioperasikan dengan baik akan dapat mengurangi emisi debu sehingga mengurangi paparan debu berbahaya bagi pekerja. Pengendalian debu juga dapat mengurangi kerusakkan mesin, perawatan dan downtime, peneglihatan yang baik (bersih) dan meningkatkan moral dan semangat kerja para pekerja. Ada tiga sistem pengendalian paparan debu terhadap pekerja, yaitu:
  • Pencegahan
  • Sistem kontrol
  • Dilusi atau isolasi.
Pencegahan – Pepatah mengatakan ” mencegah lebih baik daripada mengobati”. Pencegahan terjadinya debu di area kerja juga dapat diterapkan. Meskipun dalam proses produksi yang massal, dimana bahan baku atau produk yang digunakan menghasilkan debu, maka tentu saja sistem pencegahan hampir tidak mungkin dilakukan. Namun jika proses tersebut dirancang secara baik untuk memenimalkan debu, misalnya dengan menggunakan sistem penanganan yang tidak menimbulkan debu, maka emisi debu dapat dikurangi.
Sistem Kontrol – Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap debu tersebut. Beberapa teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti dust collection systems, sistem pwet dust suppression systems, and airborne dust capture through water sprays.
  • Dust Collection Systems – menggunakan prinsip ventilasi untuk menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian udara bersih dialirkan keluar.
  • Wet Dust Suppression Systems – menggunakan cairan (yang banyak digunakan adalah air, tapi bisa juga bahan kimia yang bisa mengikat debu) untuk membasahi bahan yang bisa menghasilkan debu tersebut sehingga bahan tersebut tidak cenderung menghasilkan debu.
  • Airborne Dust Capture Through Water Sprays – menyemprot debu-debu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan kimia pengikat, semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil (droplet) sehingga bisa menyebar diudara dan mengikat debu yang berterbangan membentuk agglomerates sehingga turun kebawah.
Dilution Ventilation – teknik ini adalah untuk mengurangi konsentrasi debu yang ada di udara dengan mendilusi udara berdebu dengan udara tidak berdebu atau bersih. Secara umum sistem ini masih kurang baik untuk kesehatan karena debu pada dasarnya masih terdapat diudara, akan tetapi sistem ini bisa digunakan jika sistem lain tidak diijinkan untuk digunakan.
Isolation – teknik ini adalah dengan cara memisahkan pekerja dengan udara yang terkontaminasi, pemisahan bisa dilakukan dengan mengisolasi pekerja kemudian di suplai dengan udara bersih dari luar. Contoh Supplier air system.

 

26" Metode Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja Menurut OSHA 1910.95

Metode Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja Menurut OSHA 1910.95

 

I. Perhitungan Paparan Kebisingan Pada Pekerja
(1) Tingkat atau dosis Kebisingan dihitung dengan menggunakan tabel G-16A sebagai berikut:
(i) Ketika tingkat suara, L, adalah konstan selama jam kerja, maka dosis kebisingan, D (%), adalah sama dengan D=100 C/T, dimana C adalah total lama hari kerja dalam jam, dan T adalah durasi referensi yang sesuai dengan tingkat suara yang diukur, L, seperti yang terdapat pada tabel G-16A atau dengan dihitung dengan rumus seperti pada catatan kaki pada tabel.
(ii) Ketika paparan kebisingan pada jam kerja terdiri dari dua atau lebih periode kebisingan dengan tingkat yang berbeda, dosis kebisingan total selama selama hari kerja dihitung dengan rumus sebagai berikut:
D = 100 (C(1)/T(1) + C(2)/T(2) + ... + C(n)/T(n)),
Dimana C(n) adalah total waktu paparan pada level kebisingan tertentu, dan T(n) adalah referensi durasi pada level tersebut yang terdapat pada tabel G-16A.
(2) Total paparan rata-rata dalam 8 jam kerja (TWA), dalam decibel, dapat dihitung dari dosis (%), dengan menggunakan rumus: TWA = 16,61 log (10) (D/100) + 90. Untuk jam kerja shoft 8 jam dengan level kebisingan konstan selama jam kerja, TWA sama dengan tingkat suara yang diukur.
(3) Tabel yang berkaitan dengan dosis dan TWA dapat dilihat pada bagian II.
                                         TABLE G-16A
A-weighted sound level, L (decibel)              Reference duration,
                                                                               T (hour)
_________________________________________________
80...................................       32
81...................................     27.9
82...................................     24.3
83...................................     21.1
84...................................     18.4
85...................................       16
86...................................     13.9
87...................................     12.1
88...................................     10.6
89...................................      9.2
90...................................        8
91...................................      7.0
92...................................      6.1
93...................................      5.3
94...................................      4.6
95...................................        4
96...................................      3.5
97...................................      3.0
98...................................      2.6
99...................................      2.3
100..................................        2
101..................................      1.7
102..................................      1.5
103..................................      1.3
104..................................      1.1
105..................................        1
106..................................     0.87
107..................................     0.76
108..................................     0.66
109..................................     0.57
110..................................      0.5
111..................................     0.44
112..................................     0.38
113..................................     0.33
114..................................     0.29
115..................................     0.25
116..................................     0.22
117..................................     0.19
118..................................     0.16
119..................................     0.14
120..................................    0.125
121..................................     0.11
122..................................    0.095
123..................................    0.082
124..................................    0.072
125..................................    0.063
126..................................    0.054
127..................................    0.047
128..................................    0.041
129..................................    0.036
130..................................    0.031
______________________________________________
Referensi durasi dalam table diatas, T, dihitung dengan rumus:
T= 8/2(L-90)/5
Dimana L adalah level kebisingan yang diukur.
II. Konversi antara “Dosis dan Paparan rata-rata selama 8 jam kerja.
Jumlah paparan biasanya diukur dengan menggunakan audiodosimeter yang terbaca dalam bentuk Dosis. Untuk memudahkan pembacaan maka pembacaan dosimeter dikonversi menjadi Tingkat paparan selama 8 Jam kerja (TWA). Tabel A-1 adalah hasil konversi pembacaan dosimeter menjadi TWA. Tabel ini digunakan oleh produsen dosimeter untuk menetapkan perhitungan dosis atau persen paparan sesuai dengan hubungan pada tabel G-16a. Misalnya dosis 91% dari hasil 8 jam kerja pada TWA diperoleh nilai 89,3 dB, dosis 50% pada nilai TWA diperoleh 85 dB. Jika nilai dosis yang terbaca dari dosimeter lebih rendah atau lebih tinggi dari nilai yang terdapat didalam tabel A-1, maka nilai TWA dapat dihitung dengan menggunakan rumus: TWA = 16.61 log(10) (D/100) + 90. Dimana TWA = Tingkat paparan rata-rata 8 jam kerja, D= akumulasi dosis dalam persen paparan.
 
TABLE A-1 – CONVERSION FROM “PERCENT NOISE EXPOSURE”
             OR “DOSE” TO “8-HOUR TIME-WEIGHTED
             AVERAGE SOUND LEVEL” (TWA)
______________________________________________
Dose or percent noise exposure      TWA
______________________________________________
10 .............................   73.4
15 .............................   76.3
20 .............................   78.4
25 .............................   80.0
30 .............................   81.3
35 .............................   82.4
40 .............................   83.4
45 .............................   84.2
50 .............................   85.0
55 .............................   85.7
60 .............................   86.3
65 .............................   86.9
70 .............................   87.4
75 .............................   87.9
80 .............................   88.4
81 .............................   88.5
82 .............................   88.6
83 .............................   88.7
84 .............................   88.7
85 .............................   88.8
86 .............................   88.9
87 .............................   89.0
88 .............................   89.1
89 .............................   89.2
90 .............................   89.2
91 .............................   89.3
92 .............................   89.4
93 .............................   89.5
94 .............................   89.6
95 .............................   89.6
96 .............................   89.7
97 .............................   89.8
98 .............................   89.9
99 .............................   89.9
100 ............................   90.0
101 ............................   90.1
102 ............................   90.1
103 ............................   90.2
104 ............................   90.3
105 ............................   90.4
106 ............................   90.4
107 ............................   90.5
108 ............................   90.6
109 ............................   90.6
110 ............................   90.7
111 ............................   90.8
112 ............................   90.8
113 ............................   90.9
114 ............................   90.9
115 ............................   91.1
116 ............................   91.1
117 ............................   91.1
118 ............................   91.2
119 ............................   91.3
120 ............................   91.3
125 ............................   91.6
130 ............................   91.9
135 ............................   92.2
140 ............................   92.4
145 ............................   92.7
150 ............................   92.9
155 ............................   93.2
160 ............................   93.4
165 ............................   93.6
170 ............................   93.8
175 ............................   94.0
180 ............................   94.2
185 ............................   94.4
190 ............................   94.6
195 ............................   94.8
200 ............................   95.0
210 ............................   95.4
220 ............................   95.7
230 ............................   96.0
240 ............................   96.3
250 ............................   96.6
260 ............................   96.9
270 ............................   97.2
280 ............................   97.4
290 ............................   97.7
300 ............................   97.9
310 ............................   98.2
320 ............................   98.4
330 ............................   98.6
340 ............................   98.8
350 ............................   99.0
360 ............................   99.2
370 ............................   99.4
380 ............................   99.6
390 ............................   99.8
400 ............................  100.0
410 ............................  100.2
420 ............................  100.4
430 ............................  100.5
440 ............................  100.7
450 ............................  100.8
460 ............................  101.0
470 ............................  101.2
480 ............................  101.3
490 ............................  101.5
500 ............................  101.6
510 ............................  101.8
520 ............................  101.9
530 ............................  102.0
540 ............................  102.2
550 ............................  102.3
560 ............................  102.4
570 ............................  102.6
580 ............................  102.7
590 ............................  102.8
600 ............................  102.9
610 ............................  103.0
620 ............................  103.2
630 ............................  103.3
640 ............................  103.4
650 ............................  103.5
660 ............................  103.6
670 ............................  103.7
680 ............................  103.8
690 ............................  103.9
700 ............................  104.0
710 ............................  104.1
720 ............................  104.2
730 ............................  104.3
740 ............................  104.4
750 ............................  104.5
760 ............................  104.6
770 ............................  104.7
780 ............................  104.8
790 ............................  104.9
800 ............................  105.0
810 ............................  105.1
820 ............................  105.2
830 ............................  105.3
840 ............................  105.4
850 ............................  105.4
860 ............................  105.5
870 ............................  105.6
880 ............................  105.7
890 ............................  105.8
900 ............................  105.8
910 ............................  105.9
920 ............................  106.0
930 ............................  106.1
940 ............................  106.2
950 ............................  106.2
960 ............................  106.3
970 ............................  106.4
980 ............................  106.5
990 ............................  106.5
999 ............................  106.6
___________________________________________
Menurut OSHA 1910.95 paparan kebisingan yang diijinkan menurut waktu kerja adalah seperti terdapat didalam table G-16.
 
TABLE G-16 – PERMISSIBLE NOISE EXPOSURES (1)
______________________________________________________________
                            |
  Duration per day, hours   | Sound level dBA slow response
____________________________|_________________________________
                            |
8...........................|                    90
6...........................|                    92
4...........................|                    95
3...........................|                    97
2...........................|                   100
1 1/2 ......................|                   102
1...........................|                   105
1/2 ........................|                   110
1/4  or less................|                   115
____________________________|________________________________
 
sumber http://healthsafetyprotection.com/metode-perhitungan-paparan-kebisingan-pada-pekerja-menurut-osha-1910-95/ 

25" Mengatasi Keengganan Terhadap Perubahan (Resistant To Change)

Mengatasi Keengganan Terhadap Perubahan (Resistant To Change)

Banyak sekali para pekerja yang enggan atau alergi ketika dilakukan perubahan terhadap proses atau sistem kerja yang sudah biasa mereka lakukan. Tidak hanya pekerja atau operator, bahkan para manajer pun kadangkala sangat resitant terhadap perubahan. Alasan utama keengganan untuk melakukan perubahan pada umumnya adalah bahwa mereka merasa sistem atau proses yang sudah berjalan selama ini sudah yang terbaik, sudah nyaman, tidak pernah terjadi kecelakaan, dan berbagai alasan lain sehingga enggan terhadap perubahan.
Enggan terhadap perubahan adalah suatu reaksi yang natural, bentuk reaksi dari keengganan bisa bermacam-macam, namun reaksi awal keengganan terhadap perubahan biasanya dalam bentuk mengabaikan kebutuhan untuk berubah, sebagai contoh “ kami telah melakukan proses ini dengan cara seperti ini dan tidak pernah terjadi kecelakaan, hanya orang-orang yang kurang hati-hati saja yang bisa celaka”, cara berfikir mereka inilah yang menyebabkan mereka enggan untuk melakukan perubahan, dan mereka cenderung berlawanan dengan ide-ide perubahan. Mereka merasa ketakutan terhadap bentuk perubahan yang belum mereka ketahui, merasa bahwa setiap perubahan akan menambah beban kerja mereka dan merasa khawatir bahwa cara kerja mereka selama ini akan ketahuan kekurangannya.
Adabeberapa bentuk alasan yang menyebabkan orang enggan terhadap perubahan, yaitu:
Alasan Emosional
Alasan emosional muncul apabila mereka bisa membuat situasi dimana mereka bisa merubah rasa takut menjadi rasa marah mereka terhadap perubahan, atau berusaha mengejek terhadap usaha-usaha perubahan dengan membuat malu sipembawa perubahan tersebut. Sebagai contoh, ketika seseorang berusaha untuk memulai melakukan pekerjaan secara aman atau berperilaku aman, maka orang-orang yang tidak menyukai perubahan tersebut akan mulai mengejek atau marah karena khawatir perusahaan akan menyalahkan mereka.
Alasan Kognitif
Alasan kognitif muncul apabila ada kesempatan untuk mengurangi atau menghilangkan keinginan untuk berubah. Sebagai contoh orang akan mengatakan “Kita telah melakukan proses kerja seperti ini selama 30 tahun, kenapa sekarang kita harus merubahnya?” Mereka berusaha untuk meyakinkan sipembawa perubahan dengan pernyataan tersebut. Atau mereka melakukan dengan cara lain yaitu mengalihkan topik perubahan tersebut menjadi topik lain yang sepele untuk membingungkan orang-orang.
Alasan Sosial
Alasan sosial biasanya muncul karena adanya faktor pertemanan, perasaan tidak enak sama yang lain, ikut-ikutan toleransi atau takut dikucilkan oleh yang lain didalam kelompok kerjanya.
Alasan Perilaku
Alasan perilaku bisanya dapat dilihat dari cara mereka menanggapi perubahan misalnya dengan mengulur-ulur waktu perubahan, mencari-cari alasan seperti tidak ada waktu, terlalu sibuk, sulit untuk mengumpulkan team untuk mendiskusikan perubahan tersebut, selalu berargumentasi atau bertanya tentang hal-hal yang sepele tentang initiatif perubahan tersebut. Mereka seolah-olah mendukung perubahan, namun tidak mau atau selalu gagal melakukannya.
Alasan Organisasi
Keengganan untuk berubah juga bisa datang dari organisasi, departemen atau kelompok kerja. Keengganan tersebut merupakan keputusan kolektif dari organisasi tersebut. Hal yang paling sering diungkapkan adalah ”Kami tidak pernah mengalami kecelakaan disini”.
Dengan mengenali alasan-alasan keengganan terhadap perubahan tersebut, maka dapat dibuat strategi dan rencana yang baik untuk melakukan perubahan didalam organisasi. Cara yang paling baik dalam mengatasi keengganan adalah dengan melibatkan setiap orang didalam organisasi didalam proses perubahan tersebut, berikut adalah hal-hal yang sebaiknya diketahui dan dilakukan dalam menanganani keengganan untuk berubah:
  • Mengetahui alasan keengganan
  • Menyadari untuk apa berubah
  • Jelas tentang perubahan yang dibutuhkan
  • Memberi penjelasan tentang alasan perubahan
  • Meminta kerjasama bukan paksaan
  • Mendorong untuk berdiskusi
  • Meminta masukkan dan menjalankan masukkan tersebut (bukan basa-basi)
  • Fleksible dan bersedia bernegosiasi
  • Jelas rentang waktu yang dibutuhkan untuk proses perubahan tersebut.
sumber http://healthsafetyprotection.com/mengatasi-keengganan-terhadap-perubahan-resistant-change/

 

24" LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN SMK3/OHSAS18001

LANGKAH-LANGKAH PENERAPAN SMK3/OHSAS18001

Dalam menerapkan Sistem Manajemen K3 (SMK3) ada beberapa tahapan yang harus dilakukan agar SMK3 tersebut menjadi efketif, karena SMK3 mempunyai elemen-elemen atau persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dibangun didalam suatu organisasi atau perusahaan. Sistem Manajemen K3 juga harus ditinjau ulang dan ditingkatkan secara terus menerus didalam pelaksanaanya untuk menjamin bahwa system itu dapat berperan dan berfungsi dengan baik serat berkontribusi terhadap kemajuan perusahaan. Untuk lebih memudahkan penerapan standar Sistem Manajemen K3, berikut ini dijelaskan mengenai tahapan-tahapan dan langkah-langkahnya. Tahapan dan langkah-langkah tersebut menjadi dua bagian besar.
a.   Tahap Persiapan.
Merupakan tahapan atau langkah awal yang harus dilakukan suatu organisasi/perusahaan. Langkah ini melibatkan lapisan manajemen dan sejumlah personel, mulai dari menyatakan komitmen sampai dengan kebutuahn sumber daya yang diperlukan, adapun tahap persiapan ini, antara lain:
  • Komitmen manajemen puncak.
  • Menentukan ruang lingkup
  • Menetapkan cara penerapan
  • Membentuk kelompok penerapan
  • Menetapkan sumber daya yang diperlukan
b.   Tahap pengembangan dan penerapan.
Dalam tahapan ini berisi langkah-langkah yang harus dilakukan oleh organisasi/perusahaan dengan melibatkan banyak personel, mulai dari menyelenggarakan penyuluhan dan melaksakan sendiri kegiatan audit internal serta tindakan perbaikannya sampai melakukan sertifikasi.
Langkah 1. Menyatakan Komitmen
Pernyataan komintmen dan penetapan kebijakan untuk menerapan sebuah Sistem Manajemen K3 dalam organisasi/perusahaan harus dilakukan oleh manajemen puncak. Persiapan Sistem Manajemen K3 tidak akan berjalan tanpa adanya komintmen terhadap system manajemen tersebut. Manajemen harus benar-benar menyadari bahwa merekalah yang paling bertanggung jawab terhadap keberhasilan atau kegagalan penerapan Sistem K3. Komitmen manajemen puncak harus dinyatakan bukan hanya dalam kata-kata tetapi juga harus dengan tindakan nyata agar dapat diketahui, dipelajari, dihayati dan dilaksanakan oleh seluruh staf dan karyawan perusahaan. Seluruh karyawan dan staf harus mengetahui bahwa tanggung jawab dalam penerapan Sistem Manajemen K3 bukan urusan bagian K3 saja. Tetapi mulai dari manajemen puncak sampai karyawan terendah. Karena itu ada baiknya manajemen membuat cara untuk mengkomunikasikan komitmennya ke seluruh jajaran dalam perusahaannya. Untuk itu perlu dicari waktu yang tepat guna menyampaikan komitmen manajemen terhadap penerapan Sistem Manajemen K3.
Langkah 2. Menetapkan Cara Penerapan
Dalam menerapkan SMK3, perusahaan dapat menggunakan jasa konsultan dengan pertimbangan sebagai berikut:
  • Konsultan yang baik tentu memiliki pengalaman yang banyak dan bervariasi sehingga dapat menjadi agen pengalihan pengentahuan secara efektif, sehingga dapat memberikan rekomendasi yang tepat dalam proses penerapan Sistem Manajemen K3.
  • Konsultan yang independen kemungkinan konsultan tersebut secara bebas dapat memberikan umpan  balik kepada manajemen secara objektif tanpa terpengaruh oleh persaingan antar kelompok didalam organisasi/perusahaan.
  • Konsultan jelas memiliki waktu yang cukup. Berbeda dengan tenaga perusahaan yang meskipun mempunyai keahlian dalam Sistem Manajemen K3 namun karena desakan tugas-tugas yang lain di perusahaan, akibatnya tidak punya cukup waktu.
Sebenarnya perusahaan/organisasi dapat menerapkan Sistem Manajemen K3 tanpa menggunakan jasa konsultan, jika organisasi yang bersangkutan memiliki personel yang cukup mampu untuk mengorganisasikan dan mengarahkan orang. Selain itu organisasi tentunya sudah memahami dan berpengalaman dalam menerapkan standar Sistem Manajemen K3 ini dan mempunyai waktu yang cukup.
Beberapa hal yang perlu di perhatikan untuk menggunakan jasa konsultan:
  • Pastikan bahwa konsultan yang dipilih adalah konsultan yang betul-betul berkompeten di bidang standar Sistem manajemen K3, bukan konsultan dokumen manajemen K3 biasa yang lebih memusatkan dirinya pada pembuatan  dokumen saja.
  • Teliti mengenai reputasi dari konsultan tersebut. Apakah mereka selalu menepati janji yang mereka berikan, mampu bekerja sama, dan yang tidak kalah penting adalah motivasi tim perusahaan. Kita dapat meminta informasi secara identitas klien mereka.
  • Pastikan lebih dulu siapa yang akan diterjunkan sebagai konsultan dalam proyek ini. Hal ini penting sekali karena merekalah yang akan berkunjung keperusahaan dan akan menentukan keberhasilan, jadi bukan nama besar dari perusahaan konsultan tersebut. Mintalah waktu untuk bertemu dengan calon konsultan yang mereka ajukan dan perusahaan boleh bebas menilainya. Pertimbangan apakah tim perusahaan mau menerima dan dapat bekerjasama dengannya.
  • Teliti apakah konsultan tersebut telah berpengalaman membantu perusahaan sejenisnya sampai mendapat sertifikat. Meskipun hal ini bukan menjadi patokan mutlak akan tetapi pengalaman menangani usaha sejenis akan lebih baik dan mempermudah konsultan dalam memahami proses organisasi perusahaan tersebut.
  • Pastikan waktu dari konsultan terkait dengan kesibukannya menagani klien yang lain. Biasanya konsultan tidak akan berkunjung setiap hari melainkan 3-4 hari selama sebulan. Makan pastikan jumlah hari berkunjung konsultan tersebut sebelum memulai kontrak kerja sama.
Langkah 3. Membentuk Kelompok Kerja Penerapan.
Jika perusahaan akan membentuk kelompok kerja sebaiknya anggota kelompok kerja tersebut terdiri atas seorang wakil dari setiap unit kerja. Biasanya manajer unit kerja, hal ini penting karena merekalah yang tentunya paling bertanggung jawab terhadap unit kerja yang bersangkutan.
Peran anggota kelompok
Dalam proses penerapan ini maka perenan anggota kelompok kerja adalah:
  • Menjadi agen perubahan sekaligus fasilisator dalam unit kerjanya. Merekalah yang pertama-tama menerapkan Sistem Manajemen K3 ini di unit-unit kerjanya termasuk merobah cara dan kebiasaan lama yang tidak menunjang penerapan sistem ini. Selain itu mereka juga akan melatih dan menjelaskan tentang standar ini termasuk mnafaat dan konsekuensinya.
  • Menjaga konsistensi dari penerapan Sistem Manajemen K3, baik melalui tinjauan sehari-hari maupun berkala.
  • Menjadi penghubung antara manajemen dan unti kerjanya.
Tanggung jawab dan tugas anggota kelompok kerja
Tanggung jawab dan tugas-tugas  yang harus dilakukan oleh anggota kelompok kerja adalah :
  • Mengikuti pelatihan lengkap dengan standar Sistem Manajemen K3.
  • Melatih staf dalam unit kerjanya sesuai kebutuhan.
  • Melakukan latihan terhadap sistem yang berlangsung dibandingkan dengan sistem standar Sistem Manajemen K3.
  • Melakukan tinjauan terhadap sistem yang berlangsung dibandingkan dengan sistem standar Sistem Manajemen K3.
  • Membuat bagan alir yang menjelaskan tentang keterlibatan unit kerjanya dengan elemen yang ada  dalama standar Sistem Manajemen K3.
  • Bertanggung jawab untuk mengembangkan system sesuai dengan elemen yang terkait dalam unit kerjanya. Sebagai contoh, anggota kelompok kerja wakil dari divisi suber daya manusia bertanggung jawab untuk pelatihan dan seterusnya.
  • Melakukan apa yang telah ditulis dalam dokumen baik diunit kerjanya sendiri maupun perusahaan.
  • Ikut serta sebagai anggota tim audit internal.
  • Bertanggung jawab untuk mempromosikan standar Sistem Manajemen K3 secara menerus baik di unit kerjanya sendiri maupun di unit kerja lain secara konsisten serta bersama-sama memelihara penerapan sistemnya.
Kualifikasi anggota kelompok kerja
Dalam menunjukan anggota kelompok kerja sebenarnya tidak ada ketentuan kualifikasi yang baku. Namun demikian untuk memudahkan dalam pemilihan anggota kelompok kerja, manajemen mempertimbangkan personel yang :
  • Memiliki taraf kecerdasan yang cukup sehingga mampu berfikir secara konseptual dan berimajinasi.
  • Rajin dan bekerja keras.
  • Senang belajar termaksud suka membaca buku-buku tentang standar Sistem Manajemen K3.
  • Mampu membuat bagan alir dan menulis.
  • Disiplin dan tepat waktu.
  • Berpengalaman kerja cukup didalam unit kerjanya sehingga menguasai dari segi operasional.
  • Mampu berkomunikasi dengan efektif dalam presentasi  dan pelatihan.
  • Mempunyai waktu cukup dalam membantu melaksakan proyek penerapan standar Sistem Manajemen K3 di luar tugas-tugas utamanya.
Jumlah anggota kelompok kerja
Mengenai jumlah anggota kelompok kerja dapat bervariasi tergantung dari besar kecilnya lingkup penerapan – biasanya  jumlah penerapan anggota kelompok kerja sekitar delapan orang. Yang pasti jumlah anggota kelompok kerja ini harus dapat mencakup semua elemen sebagaimana disyaratkan dalam Sistem Manajemen K3. Pada dasarnya setiap anggota kelompok kerja dapat merangkap dalam working group, dan  working group itu sendiri dapat saja hanya sendiri dari satu atau dua orang. Kelompok kerja akan diketuai dan dikoordinir oleh seorang ketua kelompok kerja, biasanya dirangkap oleh manajemen representatif yang ditunjuk oleh manajemen puncak.
Disamping itu untuk mengawal dan mengarahkan kelompok kerja maka sebaiknya dibentuk panitia pengarah (Steering Committee), yang biasanya terdari dari para anggota manajemen, adapun tugas panitia ini adalah memberikan arahan, menetapkan kebijakan, sasaran dan lain-lain yang menyangkut kepentingan organisasi secara keseluruhan. Dalam proses penerapan ini maka kelompok kerja penerapan akan bertanggung jawab dan melaporkan Panitia Pengarah.
Kelompok kerja penunjang
Jika diperlukan, perusahaan yang berskala besar ada yang membentuk kelompok kerja penunjang dengan tugas membantu kelancaran kerja kelompok kerja penerapan, khususnya untuk pekerjaan yang bersifat teknis administrative. Misalnya mengumpulkan catatan-catatan K3 dan fungsi administrative yang lain seperti pengetikan, penggandaan dan lain-lain.
Langkah 4. Menetapkan Sumber Daya Yang Diperlukan
Sumber daya disini mencakup orang/personel, perlengkapan, waktu dan dana. Orang yang dimaksud adalah beberapa orang yang diangkat secara resmi diluar tugas-tugas pokoknya dan terlibat penuh dalam proses penerapan. Perlengkapan adalah perlunya mempersiapkan kemungkinan ruangan tambahan untuk menyimpan dokumen atau komputer tambahan untuk mengolah dan menyimpan data. Tidak kalah pentingnya adalah waktu. Waktu yang diperlukan tidaklah sedikit terutama bagi orang yang terlibat dalam penerapan, mulai mengikuti rapat, pelatihan, mempelajari bahan-bahan pustaka, menulis dokumen mutu sampai menghadapi kegiatan audit assessment. Penerapan Sistem Manajemen K3 bukan sekedar kegiatan yang dapat berlangsung dalam satu atau dua bulan saja. Untuk itu selama kurang lebih satu tahun perusahaan harus siap menghadapi gangguan arus kas karena waktu yang seharusnya dikonsentrasikan untuk memproduksikan atau beroperasi banyak terserap ke proses penerapan ini. Keadaan seperti ini sebetulnya dapat dihindari dengan perencanaan dan pengelolaan yang baik. Sementara dana yang di perlukan adalah dengan membayar konsultan (bila menggunakan konsultan), lembaga sertifikasi, dan biaya untuk pelatihan karyawan diluar perusahaan.
Disamping itu juga perlu dilihat apakah dalam penerapan Sistem Manajemen K3 ini perusahaan harus menyediakan peralatan khusus yang selama ini belum dimiliki. Sebagai contoh adalah: apabila perusahaan memiliki kompresor dengan kebisingan diatas rata-rata, karena sesuai dengan persyaratan Sistem Manajemen K3 yang mengharuskan adanya pengendalian resiko dan bahaya yang ditimbulkan, perusahaan tentu harus menyediakan peralatan yang dapat menghilangkan/mengurangi tingkat kebisingan tersebut. Alat pengukur tingkat kebisingan juga harus disediakan, dan alat ini harus dikalibrasi. Oleh karena itu besarnya dana yang dikeluarkan untuk peralatan ini tergantung pada masing-masing perusahaan.
Langkah 5. Kegiatan penyuluhan
Penerapan Sistem Manajemen K3 adalah kegiatan dari dan untuk kebutuhan personel perusahaan. Oleh karena itu harus dibangun rasa adanya keikutsertaan dari seluruh karyawan dalam perusahan memlalui program penyuluhan.
Kegiatan ini harus diarahkan untuk mencapai tujuan, antara lain :
  • Menyamakan persepsi dan motivasi terhadap pentingnya penerapan Sistem Manajemen K3 bagi kinerja perusahaan.
  • Membangun komitmen menyeluruh mulai dari direksi, manajer, staf dan seluruh jajaran dalam perusahaan untuk bekerja sama dalam menerapkan standar system ini.
Kegiatan penyuluhan ini dapat dilakukan dengan beberapa cara, misalnya dengan pernyataan komitmen manajemen, melalui ceramah, surat edaran atau pembagian buku-buku yang terkait dengan Sistem Manajemen K3.
Pernyataan komitmen manajemen
Dalam kegiatan ini, manajemen mengumpulkan seluruh karyawan dalam acara khusus. Kemudian manajemen menyampaikan sambutan yang isinya, antara lain :
  • Pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja bagi kelangsungan dan kemajuan perusahaan.
  • Bahwa Sistem Manajemen K3 sudah banyak diterapkan di berbagai Negara dan sudah menjadi kewajiban perusahaan-perusahaan di Indonesia.
  • Bahwa manajemen telah memutuskan serta mengharapkan keikutsertaan dan komitmen setiap orang dalam perusahaan sesuai tugas dan jabatan masing-masing.
  • Bahwa manajemen akan segera membentuk tim kerja yang dipilih dari setiap bidang didalam perusahaan.
Perlu juga dijelaskan oleh manajemen puncak tentang batas waktu kapan sertifikasi system manajemen k3 harus diraih, misalnya pada waktu ulang tahun perusahaan yang akan datang. Tentu saja pernyataan seperti ini harus memperhitungkan kensekuensi bahwa sertifikasi diharapkan dapat diperoleh dalam batas waktu tersebut. Hal ini penting karena menyangkut kredibilitas manajemen dan waktu kelompok kerja.
Pelatihan awareness system manajemen K3
Pelatihan singkat mengenai apa itu Sitem Manajemen K3 perlu dilakukan guna memberikan dan menyamakan persepsi dan menghindarkan kesimpang siuran informasi yang dapat memberikan kesan keliru dan menyesatkan. Peserta pelatihan adalah seluruh karyawan yang dikumpulkan di suatu tempat dan kemudian pembicara diundang untuk menjelaskan Sistem Manajemen K3 secara ringkas dan dalam bahasa yang sederhana, sehingga mampu mengunggah semangat karyawan untuk menerapkan standar Sistem Manajemen K3. Kegiatan awareness ini bila mungkin dapat dilakukan secara bersamaan untuk seluruh karyawan dan disampaikan secara singkat dan tidak terlalu lama.
Dalam awareness ini dapat disampaikan materi tentang :
  • Latar belakang dan jenis Sistem Manajemen K3 yang sesuai dengan organisasi.
  • Alasan mengapa standar Sistem Manajemen K3 ini penting bagi perusahaan dan manfaatnya.
  • Perihal elemen, dokumentasi dan sertifikasi secara singkat.
  • Bagaimana penerapannya dan peran setiap orang dalam penerapan tersebut.
  • Diadakan tanya jawab.
Membagikan bahan bacaan
Jika pelatihan awareness hanya dilakukan sekali saja, namun bahan bacaan berupa buku atau selebaran dapat dibaca karyawan secara berulang-ulang. Untuk itu perlu dicari buku-buku yang baik dalam arti ringkas sebagai tambahan dan bersifat memberikan pemahaman yang terarah, sehingga setiap karyawan senang untuk membacanya. Apabila memungkinkan buatlah selebaran atau bulletin yang bisa diedarkan berkala selama masa penerapan berlangsung. Lebih baik lagi jika selebaran tersebut ditujukan kepada perorangan dengan menulis nama mereka satu persatu, agar setiap orang merasa dirinya dianggap berperan dalam kegiatan ini. Dengan semakin banyak informasi yang diberikan kepada karyawan tentunya itu lebih baik – biasanya masalah akan muncul karena kurangnya informasi. Informasi ini penting sekali karena pada saat melakukan assessment, auditor tidak hanya bertanya pada manajemen saja, tetapi juga kepada semua orang. Untuk sebaiknya setiap orang benar-benar paham dan tahu hubungan standar Sistem Manajemen K3 ini dengan pekerjaan sehari-hari.
Langkah 6. Peninjauan sistem
Kelompok kerja penerapan yang telah dibentuk kemudian mulai bekerja untuk meninjau system yang sedang berlangsung dan kemudian dibandingkan dengan persyaratan yang ada dalam Sistem Manajemen K3. Peninjauan ini dapat dilakukan melalui dua cara yaitu dengan meninjau dokumen prosedur dan meninjau pelaksanaan .
  • Apakah perusahaan sudah mengikuti dan melaksanakan secara konsisten prosedur atau instruksi kerja dari OHAS 18001 atau Permenaker 05/men/1996.
  • Perusahaan belum memiliki dokumen, tetapi sudah menerapkan sebagian atau seluruh persyaratan dalam standar Sistem Manajemen K3.
  • Perusahaan belum memiliki dokumen dan belum menerapkan persyaratan standar Sistem Manajemen K3 yang dipilih.
Langkah 7. Penyusunan jadwal kegiatan
Setelah melakukan peninjauan system maka kelompok kerja dapat menyusun suatu jadwal kegiatan. Jadwal kegiatan dapat disusun dengan mempertimbangkan hal-hal berikut :
Ruang lingkup pekerjaan
Dari hasil tinjauan sistem akan menunjukan beberapa banyak yang harus disiapkan dan berapa lama setiap prosedur itu akan diperiksa, disempurnakan, disetujui dan diaudit. Semakin panjang daftar prosedur yang harus disiapkan, semakin lama waktu penerapan yang diperlukan.
Kemampuan wakil manajemen dan kelompok kerja penerapan
Kemampuan disini dalam hal membagi dan menyediakan waktu. Seperti diketahui bahwa tugas penerapan bukanlah satu-satunya pekerjaan para anggota kelompok kerja dan manajemen representative. Mereka masih mempunyai tugas dan tanggung jawab lain diluar penerapan standar Sistem Manajemen K3 yang kadang-kadang juga sama pentingya dengan penerapan standar ini. Hal ini menyangkut kelangsungan usaha perusahaan seperti pencapaian sasaran penjualan, memenuhi jadwal dan taget produksi.
Keberadaan proyek
Khusus bagi perusahaan yang kegiatanya berdasarkan proyek (misalnya kontraktor dan pengembangan), maka ketika menyusun jadwal kedatangan asesor badan sertifikasi, pastikan bahwa pada saat asesor datang proyek yang sedang dikerjakan.
Langkah 8. Pengembangan Sistem Manajemen K3
Beberapa kegiatan yang perlu dilakukan dalam tahap pengembangan Sistem Manajemen K3 antara lain mencakup dokumentasi, pembagian kelompok, penyusunan bagan air, penulisan manual Sistem Manajemen K3, Prosedur, dan instruksi kerja.
Langkah 9. Penerapan Sistem
Setelah semua dokumen selesai dibuat, maka setiap anggota kelompok kerja kembali ke masing-masing  bagian untuk menerapkan system yang ditulis. Adapun cara penerapannya adalah:
  • Anggota kelompok kerja mengumpulkan seluruh stafnya dan menjelaskan mengenai isi dokumen tersebut. Kesempatan ini dapat juga digunakan untuk mendapatkan masukan-masukan dari lapangan yang bersifat teknis operasional.
  • Anggota kelompok kerja bersama-sama staf unit kerjanya mulai mencoba menerapkan hal-hal yang telah ditulis. Setiap kekurangan atau hambatan yang dijumpai harus dicatat sebagai masukan untuk menyempurnakan system.
  • Mengumpulkan semua catatan K3 dan rekaman tercatat yang merupakan bukti pelaksanaan hal-hal yang telah ditulis. Rentang waktu untuk menerapkan system ini sebaiknya tidak kurang dari tiga bulan sehingga cukup memadai untuk menilai efektif tidaknya system yang telah dikembangkan tadi. Tiga bulan ini sudah termasuk waktu yang digunakan untuk menyempurnakan system dan memodifikasi dokumen.
Dalam praktek pelaksanaannya, maka kelompok kerja tidak harus menunggu seluruh dokumen selesai. Begitu satu dokumen selesai sudah mencakup salah satu elemen standar maka penerapan sudah dapat dimulai dikerjakan. Sementara proses penerapan system berlangsung, kelompok kerja dapat tetap melakukan pertemuan berkala untuk memantau kelancaran proses penerapan system ini. Apabila langkah-langkah yang terdahulu telah dapat dijalankan dengan baik maka proses system ini relative lebih mudah dilaksanakan. Penerapan system ini harus dilaksanakan sedikitnya tiga bulan sebelum pelaksanaan audit internal. Waktu tiga bulan ini diperlukan untuk mengumpulkan bukti-bukti ( dalam bentuk rekaman tercatat) secara memadai dan untuk melaksanakan penyempurnaan system serta modifikasi dokumen.
Langkah 10. Proses sertifikasi
Ada sejumlah lembaga sertifikasi Sistem Manajemen K3. Misalnya Sucofindo melakukan sertifikasi terhadap Permenaker 05 /Men/1996. Namun Untuk OHSAS 18001:1999 organisasi bebas menentukan lembaga sertifikasi manapun yang diinginkan. Untuk itu organisasis disarankan untuk memilih lembaga sertifikasi OHSAS 108001 yang paling tepat.

 

23" Sekilas Tentang Teori Human Error

Sekilas Tentang Teori Human Error

Perkembangan teori kesalahan manusia (human error) berkembang sangat pesat. Ada dua aspek yang berkembang dalam teori kesalahan manusia ini, yaitu pendekatan dalam mencari faktor-faktor yang dapat menyebabkan kecenderungan manusia berbuat salah dan pendekatan dalam mencari aspek yang memperkecil terjadinya kesalahan manusia. Pendekatan pertama adalah pendekatan analisis kesalahan (Error Analysis Approach), dimana analisa bermula dari suatu kejadian kecelakaan, kemudian dilakukan analisa mundur untuk mencari faktor-faktor penyebab kecelakaan tersebut. Pendekatan dalam memperkecil kesalahan manusia disebut pendekatan analisis kepatuhan (compliance analysis approach), dimana analisa bermula dari analisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan manusia pada peraturan keselamatan dan bagaimana cara untuk meningkatkan kepatuhan tersebut.
The Human Factors Analysis and Classification System (HFACS) menjelaskan kegagalan manusia dalam dua kategori (lihat gambar), yaitu: kesalahan (error) dan pelanggaran (violation). Kesalahan biasanya terjadi karena ketidakmampuan atau ketidaksengajaan karena kelalaian atau kealpaan seseorang yang berakibat pada kegagalan. Sedangkan pelanggaran adalah adanya faktor kesengajaan untuk mengabaikan peraturan sehingga terjadi kegagalan atau kecelakaan.
Kesalahan manusia pada suatu sistem dapat dipengaruhi dan distimulasi oleh training yang kurang efektif,  rancangan sistem prosedur yang buruk atau konsep yang kurang matang baik pada tampilan checklist atau buku manual.  Selanjutnya, istilah “pilot error” yang merupakan faktor dasar yang tersembunyi harus diutamakan bila bertujuan untuk pencegahan terjadinya kecelakaan. Human error banyak terdapat pada manusia dan itu melimpah, bukan sebagai variasi akan tetapi akibat potensinya yang dapat muncul sewaktu-waktu. Error tersebut dalam bentuk tindakan, bicara, persepsi, pemanggilan memori, rekognisi, pengadilan, pemecahan masalah, membuat keputusan, konsep formasi dan sebagainya.
Menurut HFACS terdapat dua tipe kesalahan yaitu variable error dan konstan error,  dimana variable error menunujukkan potensi kesalahan dalam diri manusia yang sifatnya bervariasi, dan konstan error adalah kesalahan yang terdapat dalam diri seseorang secara konstan dan bentuknya sama dalam dimensi tempat, lingkungan dan organisasi. Akurasi dari prediksi kesalahan amat tergantung pada sejauh mana faktor yang menyebabkan kesalahan dapat dipahami. Secara teori elemen yang menghasilkan kesalahan adalah sifat alamiah pekerjaan dan lingkungan sekitarnya, mekanisme pengaturan performansi dan sifat alamiah dari individu. Konsekuensinya adalah prediksi yang sifatnya akan menjadi probabilistik daripada ketepatan.                                                                      Kategori kesalahan manusia menurut HFACS.
 Salah satu teori kesalahan manusia yang cukup terkenal adalah teori Ramsey. Ramsey mengajukan sebuah model yang menelaah faktor-faktor pribadi yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Menurut Ramsey perilaku kerja yang aman atau terjadinya perilaku yang dapat menyebabkan kecelakaan, dipengaruhi oleh 4 (empat)  faktor yaitu :
  • persepsi (perception)
  • kognitif (cognition)
  • pengambilan keputusan (decision making)
  • kemampuan  (ability)
Keempat faktor tersebut merupakan suatu proses yang berurutan, mulai dari yang pertama hingga yang terakhir. Bila ke empat tahapan ini dapat berlangsung dengan baik maka akan dapat terbentuk suatu perilaku yang aman.
Reason J. (1990) menjelaskan beberapa metode investigasi kesalahan manusia, yaitu:
  1. Metode naturalistic atau corpus gathering; yaitu metode investigasi  human error dilihat dari sifat alamiah manusia.
  2. Studi angket (questionare); yaitu menyelidiki dengan menggunakan beberapa bentuk angket yang bertujuan mengetahui respon dari individu terhadap hal yang ditanyakan.
  3. Studi laboratorium; yaitu menyelidiki melalui eksperimen terhadap individu yang hasilnya dapat terukur dan terkontrol
  4. Studi simulator; yaitu investigasi human error dengan menggunakan simulator berbasis komputer dengan menggunakan program software.
  5. Studi kasus; yaitu investigasi dengan menyelidiki berbagai kasus, menggalinya, dan mengkombinasikannya dengan berbagai teori kesalahan, sehingga dapat membuat disain dan diharapkan dapat mengurangi kesalahan (error).

sumber http://healthsafetyprotection.com/sekilas-tentang-teori-human-error/